KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan tarif pajak penghasilan (PPh) pasal 22 impor terhadap 1.147 barang konsumsi berdampak negatif pada pelaku industri. Kebijakan ini dianggap memberatkan para pelaku industri yang mengimpor barang konsumsi untuk keperluan produksi barang yang diekspor kembali. Karena itu, Kementerian Keuangan akan mengkaji ulang PPh impor tersebut. Penasihat Asosiasi Perusahaan Jalur Prioritas Edward Otto Kanter mengatakan, kenaikan tarif PPh impor atas barang konsumsi menghambat daya saing ekspor Indonesia. Ini terutama dirasakan pelaku industri di Kawasan Berikat dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) yang mengimpor beberapa barang konsumsi tersebut sebagai bahan baku untuk produk yang akan diekspor.
"Di tengah upaya untuk meningkatkan
competitiveness di antara negara untuk mengekspor, PPh 22 yang berlaku itu cukup memberatkan bagi eksportir di KITE karena beberapa komoditinya kena," ujar Edward dalam Sarasehan antara Kementerian Keuangan, Ditjen Bea Cukai, serta asosiasi dan pengamat , Senin (18/2) di Aula Mezzanine Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menanggapi keluhan tersebut dan berjanji akan segera mengkaji kembali pemberlakukan tarif PPh impor atas barang konsumsi tersebut. "Karena kemarin tujuannya untuk mengendalikan impor. Kita bayangkan bisa ada substitusinya dari dalam negeri. Kalau ternyata ini mengganggu
supply chain terhadap ekspor, nanti akan kita lihat, akan langsung kita respon," ujar Sri Mulyani, dalam kesempatan yang sama. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi pun mengonfirmasi rencana tersebut. Pasalnya, ia juga telah menerima masukan dari asosiasi pengusaha bahwa di antara barang konsumsi yang mengalami kenaikan tarif PPh impor tersebut, sebagiannya merupakan barang yang dimanfaatkan untuk kegiatan produksi lanjutan. Lantas, Kementerian Keuangan akan merelaksasi pemberlakuan tarif PPh impor atas barang konsumsi,. Relaksasi tersebut ditujukan khusus bagi pengusaha yang mengimpor barang konsumsi untuk kebutuhan ekspor. "Jadi bukan mengeluarkan komoditinya (dari ketentuan pajak), tapi diberikan ke entitasnya, ke pelaku usahanya yang mengimpor untuk tujuan ekspor kembali. Mereka akan dikecualikan dari tarif PPh 22 impor," kata Heru. Dengan demikian, Heru menyebut, pelaku usaha yang memiliki kebutuhan impor barang konsumsi untuk ekspor akan membayar PPh impor dengan tarif lama yang berlaku sebelumnya. Sementara, DJBC masih akan mengajak asosiasi pengusaha untuk berdiskusi kembali mengenai golongan barang apa saja yang diusulkan. "Nanti akan kita undang mereka untuk membicarakan barang-barang apa yang selama ini diusulkan. Kemarin salah satunya barang-barang yang berkaitan dengan besi dan baja, misalnya yang untuk kebutuhan
sparepart" lanjut Heru.
Sebelumnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 110 Tahun 2018 yang merupakan perubahan atas PMK Nomor 34 Tahun 2017 mengenai pemungutan pajak penghasilan pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. Dalam PMK tersebut, pemerintah menaikkan tarif pajak sampai 10% atas barang-barang impor, khususnya barang untuk konsumsi mulai dari kosmetik, perabot, pakaian, peralatan dan perlengkapan hobi, alat elektronik, kendaraan, produk makanan. dengan total 1.147 barang konsumsi impor. Adapun, kenaikan tarif PPh impor ini merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk mengendalikan defisit neraca perdagangan serta untuk melakukan pengendalian impor. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli