Kemkeu mengatur pajak rokok daerah



JAKARTA. Tak lama lagi, pemerintah daerah tidak bisa merancang sendiri target penerimaan pajak rokok. Pasalnya, kini Kementerian Keuangan (Kemkeu) akan menetapkan estimasi penerimaan pajak rokok di tiap provinsi.

Kewenangan Kemkeu itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 102/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok. Beleid ini merupakan revisi dari PMK Nomor 115/PMK.7/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok.

Teguh Boediarso, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemkeu bilang, dalam PMK lama, instansinya hanya bisa menetapkan keputusan mengenai proporsi pembagian pajak rokok, tidak membuat estimasi nominal penerimaan pajak rokok di tiap provinsi.


Berdasarkan proporsi tersebut, daerah kemudian menghitung sendiri besaran pajak rokok yang dikalikan dengan angka pajak rokok yang ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kini, melalui PMK 102 yang baru, peran Kemkeu ditambah dengan membuat alokasi bagi hasil. Tujuannya, agar tiap provinsi lebih mudah menentukan estimasi pendapatan pajak rokok dalam APBD-nya. "Sehingga bisa ditetapkan alokasi bagi hasil hingga kabupaten/kota," ujar Boediarso, akhir pekan lalu.

Dalam beleid baru ini, pemerintah mempercepat penetapan proporsi atau estimasi penerimaan pajak rokok dari sebelumnya Desember, ke minggu kedua November. Ini agar penyusunan anggaran di tiap provinsi lebih cepat. Selanjutnya bagi hasilnya dialokasikan ke kabupaten/kota.

Aturan baru ini juga mengamanatkan para gubernur segera menyalurkan bagi hasil penerimaan pajak rokok ke kabupaten/kota paling lama tujuh hari setelah setoran dari Kemkeu diterima. Hasil penerimaan pajak rokok pusat disalurkan menjadi modal bagi daerah dalam APBD.

Keputusan untuk menentukan proporsi atau estimasi ini dihitung berdasarkan rasio jumlah penduduk provinsi terhadap jumlah penduduk nasional dan target penerimaan cukai rokok pada Undang-Undang tentang APBN. Dalam APBN Perubahan 2015, target penerimaan cukai rokok dipatok sebesar Rp 139,12 triliun.

Yustinus Prastowo, engamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Jakarta menyambut positif kebijakan ini. Dia bilang, selama ini penerimaan pajak rokok tidak cepat dibagi ke daerah dan ini menghambat realisasi belanja daerah.

Lebih baik lagi, kata Yustinus, pemerintah menerapkan sistem earmarking atau kebijakan yang mengaitkan langsung pendapatan dengan belanja. Jadi, penerimaan pajak rokok digunakan untuk belanja kesehatan demi meminimalisir dampak rokok.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie