KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setahap demi setahap langkah penanggulangan korupsi di Indonesia semakin meningkat lebih baik. Dalam 20 tahun terakhir, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia telah meningkat dari 20 ke 37, sebagaimana yang dirilis oleh Transparancy International (TI). Meski masih jauh dari predikat negara bebas korupsi, namun tindakan-tindakan nyata dalam hal pencegahan dan penegakan hukum korupsi di Indonesia diakui oleh dunia internasional telah mengalami perkembangan yang menggembirakan. Isu tentang IPK ini bergulir lagi di sekitar peringatan Hati Anti Korupsi Sedunia 9 Desember. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, upaya penanganan korupsi ini juga diapresiasi oleh Agus Sartono, Deputi bidang Kordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Kordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemko PMK).
‘’Selama ini yang lebih menonjol memang aspek penanganan hukum atas kasus-kasus korupsi, sementara pencegahannya belum banyak mendapat sorotan. Padahal, upaya pencegahan korupsi itu juga penting dan bisa dilakukan dari hulu, yakni melalui dunia pendidikan,’’ ujar Agus dalam keterangannya, Rabu (12/12) Tentang pencegahan korupsi, menurut Agus, sebetulnya juga dilakukan melalui pengawasan dan sistem tata kelola aset serta keuangan negara. Namun, Guru Besar dari Fakultas Ekonomi UGM itu juga mengakui, bahwa pengawasan tersebut bisa bobol. ‘ ’Karena pada ujungnya yang menentukan adalah karakter dan integritas manusianya. Kalau manusianya tidak berintegritas, sistem yang baik pun bisa dijebol,’’ujarnya. Karenanya, Agus Sartono menyambut baik Peraturan Presiden (Perpres) nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Ia menilai bahwa kegiatan belajar mengajar terkait pendidikan karakter itu kini menjadi agenda yang penting di sekolah. ‘’Pendidikan sejatinya merupakan rekayasa sosial yang bertujuan menyemai dan membangun integritas sebagai modal utama dalam berkehidupan, berbangsa, bernegara dan bermasyarakat,’’ katanya. Sejatinya, menurut Perpres tersebut, PPK adalah gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir dan olah raga dengan pelibatan dan kerjasama antara satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Dalam dunia pendidikan, prinsip integritas yang ditanamkan itu menyangkut keselarasan antara perkataan dan perbuatan, berkata dan berbuat jujur, dapat dipercaya dan tidak berkhianat. ‘’Juga berpegang teguh pada moralitas, etika dan kebenaran,” kata Agus. Lebih jauh, Agus menambahkan bahwa penanaman integritas pada siswa sekolah memang buahnya tidak serta merta bisa dipetik, namun akan terasa jika anak-anak tersebut sudah dewasa dan ikut menjalankan roda ekonomi, politik serta pemerintahan. Penanggulangan korupsi bukan pekerjaan semusim. Agus Sartono mengakui bahwa budaya anti korupsi di negara-negara maju terbentuk selama beberapa generasi. Namun, jika nilai integritas sudah menguat pada masyarakat Indonesia, Agus percaya bahwa bangsa ini bisa jadi bangsa yang paling taat terhadap hukum yang telah ditetapkan.
“Kita bisa jadi salah satu negara terbersih secara Indeks Persepsi Korupsi, bila integritas ini tertanam kuat pada warganya,” katanya. Namun, Agus Sartono mengakui, pendidikan karakter baru satu tahap. Tahap berikutnya adalah pembinaan dan pengawasan, baik di kalangan aparatur sipil negara (ASN) maupun pelaku ekonomi, agar menjalankan tata kelola secara transparan, kredibel dan akuntabel dengan memanfaatkan segala perkembangan teknologi menuju era revolusi 4.0 ini. Pun pendidikan karakter, pembinaan dan pengawasan, juga belum cukup. Masih perlu penindakan hukum atas tindak pidana korupsi. ‘’Karenanya kita masih akan terus memerlukan badan hukum yang kapabel, kredibel, dan akuntabel dalam penindakan perkara korupsi,’’ katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto