JAKARTA. Industri sawit tanah air kembali digempur isu negatif dari Uni Eropa. Sebelumnya, di awal tahun 2017, penggunaan minyak sawit diisukan dapat memicu penyakit kanker Kini, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi sawit dan pelarangan biodiesel berbasis sawit. Alasannya, bisnis sawit Indonesia dinilai masih menciptakan banyak masalah, seperti deforestasi, korupsi, pekerja anak, sampai pelanggaran HAM. Parlemen Eropa mencatat, 46% impor minyak sawit digunakan untuk memproduksi biofuel. Produksi tersebut membutuhkan sekitar satu juta hektare (ha) tanah tropis. Penggunaan lahan yang cukup banyak ini diduga akan memicu deforestasi berkepanjangan.
Di samping itu, sebagian besar produksi global minyak sawit dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan standar sosial yang memadai. Pandangan jika perusahaan sawit sering menggunakan pekerja anak serta banyak konflik lahan membuat Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi ini. Menanggapi gempuran negatif tersebut Menteri Pertanian, Amran Sulaiman meminta agar pihak Uni Eropa tidak ikut campur soal sektor sawit tanah air. Pasalnya, Indonesia telah memiliki dua standar untuk mengupayakan sawit lestari, yakni Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO). "Tidak usah mencampuri urusan pertanian kita. Kita sudah punya standar sendiri Dan sudah sepakat dengan Malaysia untuk RSPO. Jika digabung, total produksi minyak sawit Indonesia dan Malaysia bisa 80% dari produksi minyak sawit dunia," jelas Amran. Ia menegaskan, justru resolusi tersebut yang secara tidak langsung bakal merusak lingkungan. Jika akibat isu ini harga Crude Palm Oil (CPO) turun, komunitas petani sawit yang berjumlah sekitar 30 juta akan meninggalkan sawit dan bergerak ke hutan untuk mencari pendapatan baru. "Artinya gerakan tersebut akan merusak hutan karena para petani merambah hutan, mencari kehidupan baru. Siapa yang bisa halangi kalau 30 juta bergerak?" kata Amran.