Kemtan usulkan biaya pungutan untuk komoditas kakao



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Pertanian (Kemtan) mengusulkan adanya biaya pungutan untuk ekspor dan impor komoditas kakao. Nantinya, pungutan ini ditujukan untuk perbaikan kakao Indonesia.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang mengatakan, pihaknya mengusulkan supaya nantinya biaya pungutan ini menggantikan bea masuk serta pajak pertambahan nilai (PPN) yang dikenakan selama ini.

Bambang berpendapat, bea masuk dan PPN yang masuk selama ini hanya menjadi sebagai pemasukan negara. Sementara, besar nilai yang didapatkan tidak begitu besar. Pemasukan ini tak dapat disalurkan langsung ke komoditas kakao.


"Sebagai komitmen negara kepada perbaikan kakao indonesia, kami mengusulkan perolehan negara ini ditiadakan, tetapi munculkan kembali pungutan. Pungutan terhadap biaya keluar dan pungutan pada biaya masuk. Impor silakan kita buka keran impor, tetapi kepada setiap importasi kita kenakan biaya pungutan. Ekspor juga begitu. Tetapi ada klasifikasinya," jelas Bambang, Selasa (5/6).

Bambang memaparkan, terdapat tujuh komoditas dalam Undang-undang yang pungutannya dapat dihimpun dan ditujukan kembali terhadap komoditas tersebut.  Bambang bilang, kakao merupakan salah satu komoditas yang perlu ditingkatkan produktivitasnya. Apalagi mengingat produksi kakao yang terus menurun, sementara permintaan terus meningkat.

Menurut Bambang, pemerintah sudah berupaya untuk memberikan perhatian pada komoditas kakao. Sayangnya, dana yang dimiliki pemerintah sangat terbatas. "Kita paling dapat Rp 1 triliun-Rp 2 triliun satu tahun. Itu untuk seluruh Indonesia dan untuk berbagai komoditas," ujar Bambang.

Hampir sama seperti pungutan untuk kelapa sawit, pungutan sawit ini akan dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU), namun tidak seperti Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit, Kemtan mengusulkan supaya dana ini dikelola oleh Litbang yang ada.

"Kita kan punya pusat penelitian kopi dan kakao (puslitkoka). Saya kira perhimpunan dana dari kakao kopi kita serahkan pengelolaannya ke Puslitkoka, kita jadikan BLU sehingga negara tidak perlu merekrut orang dari luar yang belum tentu memahami persoalan teknis," tandas Bambang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi