JAKARTA. Hingga saat ini, pemerintah terus mengembangkan kasus pengemplangan royalti pertambangan. Itu artinya, jumlah pengusaha yang kena cekal kemungkinan akan bertambah. Hal itu diungkapkan oleh Dirjen Kekayaan Negara Hadiyanto . "Tidak menutup kemungkinan ada penambahan nama pengusaha yang dicekal. Kita akan lihat perkembangannya," tutur Hadiyanto di Jakarta hari ini.Selain pencekalan, sampai saat ini Depkeu belum memutuskan langkah lain agar hutang PNBP tersebut dilunasi. Depkeu juga belum memikirkan apakah akan membawa kasus ini ke proses hukum atau tidak. Menurut Hadiyanto, antara pajak restitusi dan PNBP (dalam hal ini kewajiban royalti) tidak bisa disamakan karena memiliki jalur yang berbeda.Yang pasti, pemerintah akan terus berupaya agar royalti yang menjadi kewajiban enam perusahaan batubara itu dibayarkan. “Rp 3,3 triliun itu cukup besar. Oleh karena itu adalah kewajiban saya yang menerima penyerahan piutang dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menagih," tegas Hadiyanto.
Ketika disinggung mengenai pemberian restitusi jika royalti dibayar, Hadiyanto menjelaskan, hal itu sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk membayarnya. Namun, sebelumnya, harus ada dokumen dan landasan mengapa restitusi perlu dibayarkan. "Tapi restitusi itu tidak boleh ditukar dengan utang, karena jalurnya berbeda," tambahnya. Selain itu, Hadiyanto mempersilahkan enam perusahaan untuk mengajukan keberatan atas jumlah tagihan. Menurutnya, Depkeu, dalam hal ini Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), hanya melakukan penagihan dari dokumen yang diberikan oleh ESDM dan tidak melakukan penghitungan sendiri. Pemerintah, lanjutnya, juga akan mempelajari upaya arbitrase internasional yang akan ditempuh oleh perusahaan batubara itu. "Kita pelajari saja, langkah arbitrasenya seperti apa. Apakah materi dispute penjumlahan utangnya, atau materi dari sisi PPN-nya yang ada di kontrak," katanya.