Jakarta. Pemangkasan anggaran oleh pemerintah berdampak pada pengembangan sejumlah komoditas pertanian. Salah satunya adalah tanaman kakao. Indonesia merupakan produsen penghasil kakao nomor tiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Namum produksi itu belum juga memenuhi kebutuhan industri kakao dalam negeri yang berkembang pesat. Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kemtan) Bambang mengatakan akan mencari solusi yang tepat untuk mendorong pertumbuhan dan pengembangan kakao petani. Sebab, kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang menjanjikan.
"Komoditas kakao ini komoditas masa depan, pemerintah harus mengembangkannya, karena anggaran terbatas tahun ini, kami akan mencari jalan keluarnya," ujar Bambang, Jumat (30/9). Bambang mengatakan untuk tahap pertama, Ditjen Perkebunan akan membenahi dulu perkebunan kakao dengan memaksimalkan segala sumber daya yang ada. Untuk itu, Ditjen Perkebunan akan mendorong adanya dana alternatif yang masuk untuk membangun perkebunan kakao semisal pinjaman dari perbankan atau masuknya swasta untuk mengucurkan dananya demi pengembangan perkebunan kakao. Untuk itu, Bambang berjanji akan memfasilitasi kemudahan pinjaman perbankan untuk petani kakao dan meminta pihak swasta aktif masuk ke perkebunan kakao. Menurutnya, saat ini perkebunan kakao membutuhkan dana segar untuk mendorong peningkatkaan produksi. Sebab, harga kakao dari tahun ke tahun terus meningkat. Ia mengambil contoh, saat ini saja, harga kakao non fermentasi mencapai Rp 40.000 per kg di tingkat petani. "Kalau sudah difermentasi lebih mahal lagi mencapai Rp 45.000 per kg," imbuhnya. Bambang yang baru dilantik menjadi Dirjen Perkebunan Pada Bulan September ini mengatakan akan mendorong peningkatkan produksi perkebunan kakao mencapai rata-rata 1,5 ton hingga 2 ton per hektare. Saat ini produksi tanaman kakao masih minim dikisaran 800 kg per ha.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Dody Edward mengatakan harga referensi biji kakao pada Oktober 2016 turun sebesar US$ 67,18 atau 2,26% yakni dari US$ 2.976,78 per metrik ton (MT) menjadi US$ 2.909,60 per MT. Hal ini berdampak pada penetapan HPE biji kakao yang juga turun US$ 66 atau 2,46% dari US$ 2.678 per MT pada periode September menjadi US$ 2.612 per MT pada periode Oktober. Penurunan harga referensi dan HPE biji kakao disebabkan oleh menurunnya harga internasional. Namun, bea keluar (BK) ekspor biji kakao tidak berubah dibandingkan periode bulan sebelumnya, yaitu sebesar 10%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Adi Wikanto