Kena kritik Presiden, Kemdag menaikkan target pertumbuhan ekspor 2018



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perdagangan (Kemdag) menaikkan target pertumbuhan kinerja ekspor tahun ini dari sebelumnya 5,6% menjadi 11%. Perbaikan ekonomi global menjadi alasan peningkatan target laju. Apalagi sebelumnya kementerian ini mendapatkan kritikan pedas dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena dinilai gagal mengembangkan pasar ekspor.

Kenaikan target ini merupakan hasil rapat kerja Kemdag pada akhir pekan lalu. Sebab, pertumbuhan ekspor dinilai penting agar konsisten dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini yang diproyeksikan mencapai 5,4%.

Proyeksi itu lebih tinggi dibandingkan perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2017 sebesar 5,05%, namun dengan pertumbuhan ekspor 16% year on year (yoy). "Kami melihat pertumbuhan ekonomi dunia semakin besar, ekspor juga akan meningkat," jelas Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita, dalam rapat kerja Jumat malam (2/2).


Pada tahun 2017 Indonesia mencatatkan nilai ekspor sebesar US$ 168,7 miliar, naik pesat dibandingkan tahun 2016 hanya US$ 145,2 miliar. Ini juga merupakan pertama kali dalam enam tahun terakhir kinerja ekspor mencatatkan angka positif. Terakhir, kinerja ekspor tumbuh positif terjadi pada tahun 2011, mencapai 29,05% menjadi US$ 203,62 miliar.

Menurut Enggar, kinerja ekspor tahun ini akan terdorong oleh kenaikan harga komoditas alam seperti minyak sawit atau crude palm oil (CPO) dan batubara. Seperti pada tahun lalu, kenaikan harga dua komoditas itu menjadi andalan ekspor nonmigas Indonesia. Kenaikan harga diperkirakan masih berlanjut pada tahun ini.

Selain mengandalkan harga komoditas, pemerintah juga akan memperluas pemasaran. Untuk itu peran Pusat Promosi Perdagangan Indonesia atau Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) dan Atase Dagang akan dioptimalkan sebagai ujung tombak perdagangan Indonesia. Kemdag akan melakukan analisa pasar sebagai bahan pertimbangan melakukan reposisi perwakilan dagang tersebut.

Untuk mengejar target pertumbuhan ekspor 11% pada tahun ini, Kemdag juga akan membuka perwakilan dagang baru termasuk meningkatkan kerjasama perdagangan bebas. Sebab dalam tujuh tahun terakhir Indonesia hanya menyelesaikan satu perjanjian dagang dengan Chile.

Direktur Institute for Development Economic and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menilai, pertumbuhan ekonomi global yang lebih tinggi pada tahun ini akan lebih banyak dinikmati oleh negara dengan industri manufaktur yang kuat. "Seperti Vietnam, ekspornya akan lebih tinggi lagi dari Indonesia, karena manufakturnya bagus," jelas Enny, Minggu (4/2).

Namun, dia bilang, pengembangan industri manufaktur butuh jangka panjang. Agar pemerintah bisa mencapai target ekspor 11%, maka kebijakan industrialisasi harus terus dilaksanakan secara konsisten. Dalam jangka pendek pemerintah bisa mengoptimalkan ekspor produk usaha kecil menengah (UKM).

Sebab menurut kajian INDEF, produk UKM Indonesia punya pasar bagus di luar negeri, mulai dari baju batik, hingga kerajinan tangan berbahan kulit. "UKM bisa mendongkrak ekspor, jika pemerintah mau memberikan fasilitas seperti akses logistik, edukasi, hingga promosi," jelas Enny.

Selain itu dalam promosi, Atase Dagang dan ITPC harus benar-benar menjalankannya. Pemerintah juga harus memperbanyak promosi ke negara-negara yang selama ini belum tergarap, seperti Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah. "Promosi yang benar, jangan mengadakan pameran tapi yang diundang orang-orang kedutaan saja," ungkap Enny.

Prediksi Enny ini memperkiat pernyataan yang dikeluarkan International Moneter Fund (IMF). Menurut IMF dengan memprediksi kenaikan pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari perkiraan awal 3,7% menjadi 3,9%, hanya hanya negara berbasis ekspor manufaktur yang bisa mendapatkan keuntungan. Sedangkan negara berbasis ekspor komoditas alam, seperti Indonesia, tidak mendapatkan keuntungan yang optimal.

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno bilang, target pertumbuhan ekspor 11% bisa tercapai jika pemerintah meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Sebab menurutnya, selama ini daya saing produk Indonesia masih lemah di pasar internasional. "Daya saing biaya distribusi ke tempat tujuan ekspor, dan daya saing biaya produksi," terang Benny.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia