JAKARTA. Impor bahan bakar minyak diharapkan terus menyusut, menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sejak 18 November lalu. Hanya, lantaran baru berlangsung pekan lalu, kebijakan ini belum cukup menolong kinerja perdagangan tahun ini. Banyak ekonom yang meramal tahun ini masih akan terjadi defisit perdagangan yang cukup besar. Nilainya diperkirakan di bawah atau sama dengan defisit neraca dagang di tahun 2013 yang mencapai US$ 4,08 miliar. Kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 2.000 menjadi Rp 8.500 per liter memang diharapkan bisa mengurangi penggunaan premium dan solar. Alhasil, impor impor minyak mentah dan hasil minyak ikut berkurang.
Hanya saja, kebijakan itu tak langsung berefek berkurangnya impor bahan bakar minyak. Penghematan kemungkinan baru terlihat pada Desember 2014. Alhasil, sepanjang dua bulan terakhir, yakni Oktober dan November masih akan terjadi impor minyak dan gas yang besar. Ini pula yang menjadi penyebab utama defisit perdagangan periode itu. Badan Pusat Statistik (BPS) rencananya akan mengumumkan kinerja perdagangan periode Oktober 2014, Senin (1/12). "Impor BBM masih akan tinggi, bahkan mencatat peningkatan net impor dibandingkan tahun lalu," ujar Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistyaningsih, Selasa (25/1). Catatan BPS, impor minyak mentah dan hasil minyak mencapai US$ 3,40 miliar per September 2014, naik 7,25% dari bulan sebelumnya. Pada periode sama, ekspor minyak dan hasil minyak hanya US$ 1,36 miliar, sehingga defisit menjadi US$ 2,04 miliar. Defisit migas yang sama bakal terjadi Oktober. Namun, kinerja perdagangan akan tertolong harga komoditas yang naik dan pelemahan nilai tukar rupiah. "Oktober akan defisit sekitar US$ 100 juta," prediksi Lana. Hingga akhir 2014, Lana memperkirakan neraca perdagangan akan defisit di bawah US$ 4 miliar, lebih baik dari tahun lalu. Efek defisit dagang akan menjadikan transaksi berjalan defisit. Kebijakan telat Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) A. Prasetyantoko memprediksi, neraca dagang Oktober bisa surplus. Meski impor BBM tinggi, tapi ekspor mulai meningkat.
Sepanjang tahun, Prasetyantoko menilai, masih akan terjadi defisit dagang. Namun, ia belum memiliki angka pasti. "Kalau pemerintah menaikkan BBM lebih awal, misal seperti 2013 yang naik Juli, Oktober, bisa surplus besar sehingga menekan defisit perdagangan tahun ini," terang dia. Ekonom Bank Internasional Indonesia (BII) Juniman bilang, kebijakan kenaikan BBM belum terasa efeknya bagi kinerja perdagangan Indonesai tahun ini. "Impor migas akan turun tiga hingga empat bulan mendatang," ujar Juniman. Itupun dengan catatan, penggunaan BBM bersubsidi bisa diturunkan, melalui program seperti konversi BBM ke bahan bakar lain. Tanpa itu, penggunaan dan impor BBM masih akan tinggi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa