KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sesuai harapan pasar, Bank Indonesia (BI) kemarin menaikkan suku bunga acuan. Bank sentral mengerek BI-7 day reverse repo rate (7-DRR) sebesar 25 basis poin menjadi 4,5%. BI mengakui ketidakpastian pasar keuangan dunia masih berlanjut. "Kami ingin melanjutkan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah," ungkap Gubernur BI Agus DW Martowardojo, perihal alasan menaikkan bunga acuan, Kamis (17/5). Nah, kenaikan bunga acuan itu ibarat obat penenang sejenak bagi pasar finansial. Dalam jangka pendek, misalnya, kebijakan BI ini bisa menstabilkan rupiah yang kini bertengger di level Rp 14.000 per dollar Amerika Serikat.
Meski demikian, Direktur Panin Asset Management Rudiyanto mengingatkan, sentimen negatif dari luar negeri masih terus membayangi pasar keuangan. Pemulihan rupiah diprediksi sulit terjadi dalam waktu dekat. Sebab, hingga Juni nanti, kebutuhan dollar AS masih tinggi, terutama untuk pembayaran utang dan dividen di pasar saham. Efek positif kenaikan BI 7-DRR ke pasar obligasi juga dinilai minim, apalagi kenaikannya hanya 25 bps. "Kenaikan bunga acuan BI lebih ke arah menjaga ketahanan rupiah serta menjaga spread dengan bunga acuan AS," kata Desmon Silitonga,
Fund Manager Capital Asset Management kepada Kontan.co.id, kemarin. Tekanan terhadap pasar obligasi Indonesia masih tergolong besar, terutama akibat tren kenaikan yield US Treasury tenor 10 tahun yang telah menembus 3%. Kondisi ini turut menekan harga surat utang negara. Desmon memprediksi, hingga akhir Juni pergerakan harga di pasar obligasi dalam negeri bakal lebih banyak disetir sentimen eksternal. Analis
Fixed Income MNC Sekuritas I Made Adi Saputra berpendapat, dengan atau tanpa kenaikan suku, tren kenaikan yield SUN sulit dihindari. Kondisi berbeda dialami AS manakala yield US Treasury bergerak naik ketika disetir kenaikan suku bunga acuan di negara tersebut. Menurut Made, efek kenaikan BI 7-DRR terhadap pasar obligasi Indonesia baru terasa jika kebijakan itu menimbulkan efek positif terhadap rupiah. "Apabila rupiah menguat dalam beberapa hari ke depan pasca kenaikan BI
rate, itu pertanda bagus," ungkap dia. Jika rupiah menguat, peluang masuknya kembali dana asing ke pasar obligasi akan terbuka lebar. Sebab, investor asing selama ini tergolong sensitif terhadap pelemahan nilai tukar rupiah. Demikian pula di Bursa Efek Indonesia. Sejak awal tahun hingga kemarin, investor asing sudah net sell lebih dari Rp 40 triliun. Di periode yang sama, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) susut 8,49% menjadi 5.815,92. Ini merupakan koreksi terburuk kedua di kawasan Asia Pasifik setelah indeks bursa Filipina.
Pengamat Pasar Modal Teguh Hidayat mengatakan, efek kenaikan BI 7-DRR sudah tampak pada pergerakan IHSG kemarin. "Itu karena pasar sudah menduga BI rate naik, saham bank dan
blue chip banyak yang turun," kata dia. IHSG masih berpotensi melemah 300 poin dari level terendah saat ini 5.700. Namun, seiring optimisme perbaikan kinerja emiten di kuartal II-2018, IHSG berpeluang
rebound ke level 6.000 pada September ataupun Oktober. "Jadi paling cepat Agustus, IHSG bisa kembali ke 6.000, didukung laporan pertumbuhan ekonomi dan kinerja emiten," jelas Teguh. Yang pasti, arah IHSG tergantung banyak faktor, seperti kemampuan pemerintah menjaga keamanan, pergerakan harga minyak, serta stabilitas pergerakan rupiah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi