KONTAN.CO.ID - Dalam situasi pandemi Covid-19 ini, optimalisasi penerimaan dari cukai rokok yang naik jadi 12,5% mulai 1 Februari lalu menjadi semakin bermakna. Perilaku perokok yang memiliki risiko lebih tinggi terkena Covid-19 juga turut menambahkan kebutuhan negara untuk kesehatan. Angka perokok yang tidak dapat ditekan secara signifikan, setidaknya selama pandemi ini, membuat manfaat pembiayaan kesehatan dari cukai hasil tembakau (CHT) semakin tidak berimbang dengan beban dari konsumsinya. Dengan kata lain, konsumsi rokok saat pandemi ini menambah 'besar pasak dari tiang'. Kenaikan cukai hasil tembakau pada dasarnya bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok oleh penggunanya dan diharapkan dapat mencegah anak untuk menjadi perokok pemula. Namun, kenaikan cukai hasil tembakau tersebut juga harus diikuti dengan kenaikan harga jual eceran dan simplifikasi strata cukai hasil tembakau, agar pengendalian konsumsi rokok lebih efektif.
Naikkan harga jual eceran Menurut hasil studi dan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, kenaikan cukai rokok ternyata tidak serta-merta diikuti dengan kenaikan yang sama pada harga jual rokok. Studi oleh Prasetyo dan Adrison (2019) menunjukkan bahwa selama 2005-2017, kenaikan tarif cukai tidak menghasilkan kenaikan harga jual rokok yang cukup besar maupun proporsional. Kenaikan cukai selama ini tidak diikuti kenaikan harga rokok di pasar sehingga diperlukan kenaikan cukai yang signifikan. Dalam praktik persaingan, produsen rokok tentu berusaha menjaga pangsa pasarnya dengan cara menyerap sebagian efek kenaikan cukai, dan mempertahankan harga jual. Sementara itu, harga jual di pasarlah yang menjadi pertimbangan utama konsumen dalam membeli rokok. Perilaku ini meredam efek kenaikan cukai tembakau dalam upaya pengendalian konsumsi rokok. Kebijakan cukai rokok memang rumit. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah untuk menghasilkan kebijakan yang seimbang, misalnya keberlangsungan tenaga kerja. Isu ini menjadi penting untuk dibahas karena risiko yang dihadapi pemerintah adalah persepsi masyarakat yang dapat menjadi skeptis dengan keseriusan pemerintah dalam menangani epidemi rokok. Hal ini bukan berarti kenaikan cukai rokok tidak perlu atau kurang tepat. Namun, kebijakan kenaikan cukai rokok yang harus disertai dengan kenaikan signifikan pada harga jualnya perlu dipertimbangkan, agar lebih efektif dalam menekan angka perokok. Penetapan kebijakan harga rokok bukanlah ide yang baru. Sejak 2017, Peraturan Menteri Keuangan tentang tarif CHT telah mengatur harga transaksi pasar (HTP) yang dihadapi oleh perokok tidak boleh lebih rendah dari 85% harga jual eceran (HJE) minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Dari perspektif tersebut, aturan ini sebenarnya dapat mengurangi tingkat keterjangkauan rokok karena produsen tidak diizinkan menjual rokok dengan harga yang terlampau murah di bawah beleid HJE. Sementara periode 2016-2020, HJE minimum untuk jenis sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT) tidak mengalami kenaikan secara konsisten. Dari hasil pengamatan kami, kebijakan tarif CHT meningkatkan HJE ketiga jenis rokok tersebut sebesar 17,68% pada 2016 dan 29,23% pada 2019. Akan tetapi kebijakan yang serupa tidak dilakukan pada 2018 dan 2020. Jadi kenaikan cukai sebesar 12,5% tahun ini tidak disertai dengan kenaikan HJE minimum. Padahal kenaikan HJE minimum dapat mempengaruhi kenaikan HTP yang dihadapi oleh perokok. Jika kenaikan tarif CHT disertai dengan kenaikan HJE, pengendalian konsumsi rokok dapat lebih efektif. Studi World Bank menyatakan bahwa di antara negara-negara lainnya, strata tarif cukai rokok di Indonesia masih tergolong rumit. Adanya perbedaan strata ini awalnya diharapkan memberi keuntungan bagi pelaku industri rokok yang kecil, namun dalam praktiknya, keuntungan ini tidak dapat dirasakan. Sementara dalam konteks menekan konsumsi rokok, kita telah melihat bahwa sistem cukai dan harga jual yang rumit dapat mengurangi efektivitas kebijakan pengendalian tembakau. Hal ini pun didukung dengan studi yang menunjukkan bahwa simplifikasi strata cukai hasil tembakau dapat lebih efektif dalam meningkatkan harga jual rokok dibandingkan dengan strategi kenaikan cukai. Sebenarnya, pemerintah telah berupaya menyederhanakan strata cukai sejak tahun 2009 dari 19 layer menjadi 12 layer pada tahun 2020. Penyederhanaan lebih lanjut juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu)No. 146 tahun 2017 yang menargetkan penyederhanaan menjadi lima strata tarif di tahun 2021. Tahun 2018, Kementerian Kesehatan juga telah mengusulkan simplifikasi (penyederhanaan) tarif cukai hanya menjadi dua strata saja, yaitu jenis SKM dan SKT pada layer pertama dan SKT pada layer kedua. Namun, perencanaan kebijakan penyederhanaan strata tarif cukai hasil tembakau tersebut kembali dihapus melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 156/2018. Di sisi lain, PMK No 77/2020 juga telah mencantumkan rencana penyederhanaan strata tarif CHT sebagai upaya reformasi fiskal. Akan tetapi untuk alasan tertentu, pemerintah belum memberlakukan simplifikasi strata cukai tembakau pada tahun 2021. Kami mendorong kebijakan cukai hasil tembakau ke depan tetap mempertimbangkan kenaikan tarif cukai untuk mengoptimalkan penerimaan negara dan diikuti dengan kenaikan HJE rokok sebagai upaya untuk mengurangi pembelian maupun konsumsi rokok. Hal ini juga perlu didukung dengan penyederhanaan strata tarif cukai hasil tembakau agar pengendalian konsumsinya menjadi semakin efektif.
Opini mengenai kenaikan cukai hasil tembakau diiringi dengan simplifikasi strata, serta HJE rokok ini kami harapkan dapat memicu diskusi yang lebih mendalam dari berbagai perspektif. Penulis : Risky Kusuma Hartono dan Kevin Andrean Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti