Kenaikan gas alam tidak bertahan lama



JAKARTA. Harga gas alam turun setelah mengalami kenaikan selama dua sesi perdagangan sebelumnya. Perkiraan naiknya temperatur udara di Midwest dan Eastern Amerika Serikat mengindikasikan kenaikan permintaan gas alam untuk pembangkit listrik.

Mengutip Bloomberg, Kamis (27/8) pukul 16.30 WIB, harga gas alam kontrak pengiriman Oktober di bursa New York Mercantile Exchange turun 0,3% ke level US$ 2.695 per mmbtu. Selama sepekan harga gas alam turun 4,1%.

Berdasarkan AccuWeather Inc., suhu udara di New York diperkirakan mencapai 90 derajat fahrenheit (32 derajat celcius), 10 derajat di atas suhu normal. Teri Viswanath, direktur strategi komoditas di BNP Paribas SA New York mengatakan, udara panas yang lebih tinggi dari normal ini kemungkinan akan meningkatkan permintaan gas alam sehingga dapat mendukung kenaikan harga hingga September mendatang. "Kami masih melihat ada suhu udara panas yang datang terlambat," ujarnya seperti dikutip Bloomberg.


Menurut LCI Energy Insight di El Paso, Texas, permintaan gas dari pembangkit listrik naik 8,7%. Sementara dari rata-rata estimasi 12 analis yang diwawancara oleh Bloomberg menyatakan penyimpanan gas hingga pekan lalu diperkirakan naik sebesar 61 miliar kaki kubik. Laporan data simpanan gas tersebut akan dirilis Kamis (27/8).

Ibrahim, Analis dan Direktur PT Ekuilibrium Komoditi Berjangka menjelaskan, masalah cuaca memang menjadi pendorong kenaikan gas alam. Pasalnya, kebutuhan gas alam untuk tenaga pendingin semakin kuat di saat cuaca sangat panas. Sebaliknya, ketika cuaca dingin, gas alam digunakan sebagai sumber tenaga pemanas. "Sebagian besar wilayah AS saat ini sedang mengalami cuaca ekstrim sehingga kebutuhan gas alam meningkat tajam," ujarnya.

Lebih lanjut, Ibrahim mengatakan, indeks dollar AS sedang mengalami pelemahan di tengah berbagai rilis data ekonomi AS. Di antaranya, rilis data new home sales sebesar 507.000 meleset dari perkiraan sebesar 512.000 meski naik dari sebelumnya 418.000 dan rilis core durable goods orders bulanan yang naik menjadi 0,6% dari sebelumnya minus 0,6%. "Meski rilis data beragam dengan hasil positif dan negatif, ternyata indeks dollar AS tetap melemah yang mendorong harga gas alam," ujarnya.

Melemahnya indeks dollar AS ini digunakan untuk melakukan pembelian gas alam. Maklum, harga gas alam ditransaksikan dengan dollar AS. Ketika mata uang negeri Paman Sam itu melemah, harga gas alam akan menjadi murah.

Pergerakan harga gas alam, menurut Ibrahim juga tak lepas dari sentimen China. Kebijakan negeri China untuk memangkas suku bunga justru menyeret harga komoditas, termasuk gas alam. Kekhawatiran perlambatan ekonomi di China juga masih menjadi tekanan harga komoditas. Apalagi, kebijakan People's Bank Of China justru dipandang sebagai indikasi perekonomian di negeri tiari bambu itu lebih buruk dari perkiraan.

Meski demikian, Ibrahim memperkirakan harga gas alam di akhir tahun bisa mencapai US$ 3000 per mmbtu. Hal tersebut didukung oleh musim dingin yang melanda sebagian wilayah di dunia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto