Kenaikan harga minyak hanya tren jangka pendek



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penurunan produksi minyak Amerika Serikat (AS) berhasil mengangkat harga minyak mentah. Akhir pekan lalu (9/3), harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman April 2018 di New York Mercantile Exchange menanjak 3,19% ke US$ 62,04 per barel. Dalam sepekan, harga emas hitam ini menguat 1,29%.

Analis Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar mengatakan, pelemahan dollar AS serta penurunan jumlah rig di Negeri Paman Sam tersebut jadi penyokong utama keperkasaan minyak. Dollar AS melemah setelah ketegangan geopolitik di Semenanjung Korea mereda. Selain itu, meski angka non-farm payroll di AS naik, tingkat pengangguran AS ternyata tertahan di 4,1%.

Tambah lagi, Baker Hughes Inc merilis jumlah rig aktif di AS turun empat unit menjadi 796 unit di pekan yang berakhir pada 9 Maret 2018. Tak heran, harga minyak naik.


Meski begitu, harga minyak masih dibayangi sentimen negatif. Analis Finex Berjangka Nanang Wahyudi mengatakan, potensi kenaikan pasokan minyak dari Negeri Uwak Sam masih besar.

Ia menghitung, produksi minyak AS bisa mencapai 11 juta barel per hari di akhir 2018. Apalagi Energy Information Administration (EIA) melaporkan, tingkat produksi pada pekan yang berakhir 2 Maret sudah mencapai 10,4 juta barel per hari. "Ini membuat pemangkasan produksi minyak oleh OPEC dan sekutunya tak terasa," papar dia.

Karena itu, meski permintaan minyak meningkat, analis menilai pasokan tetap akan berlebih. Proyeksi Goldman Sachs, tahun ini permintaan minyak global akan mencapai 1,85 juta barel per hari.

JAKARTA. Penurunan produksi minyak Amerika Serikat (AS) berhasil mengangkat harga minyak mentah. Akhir pekan lalu (9/3), harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman April 2018 di New York Mercantile Exchange menanjak 3,19% ke US$ 62,04 per barel. Dalam sepekan, harga emas hitam ini menguat 1,29%.

Analis Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar mengatakan, pelemahan dollar AS serta penurunan jumlah rig di Negeri Paman Sam tersebut jadi penyokong utama keperkasaan minyak. Dollar AS melemah setelah ketegangan geopolitik di Semenanjung Korea mereda. Selain itu, meski angka non-farm payroll di AS naik, tingkat pengangguran AS ternyata tertahan di 4,1%.

Tambah lagi, Baker Hughes Inc merilis jumlah rig aktif di AS turun empat unit menjadi 796 unit di pekan yang berakhir pada 9 Maret 2018. Tak heran, harga minyak naik.

Meski begitu, harga minyak masih dibayangi sentimen negatif. Analis Finex Berjangka Nanang Wahyudi mengatakan, potensi kenaikan pasokan minyak dari Negeri Uwak Sam masih besar.

Ia menghitung, produksi minyak AS bisa mencapai 11 juta barel per hari di akhir 2018. Apalagi Energy Information Administration (EIA) melaporkan, tingkat produksi pada pekan yang berakhir 2 Maret sudah mencapai 10,4 juta barel per hari. "Ini membuat pemangkasan produksi minyak oleh OPEC dan sekutunya tak terasa," papar dia.

Karena itu, meski permintaan minyak meningkat, analis menilai pasokan tetap akan berlebih. Proyeksi Goldman Sachs, tahun ini permintaan minyak global akan mencapai 1,85 juta barel per hari.

Kembali melemah

Selain banjir produksi minyak AS, tingginya ekspektasi kenaikan suku bunga The Federal Reserve pada bulan ini diprediksi menyeret minyak ke bawah US$ 60 per barel. Deddy bilang dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 21-22 Maret ini, suku bunga AS berpotensi naik 25 basis poin. Jika ini terjadi, dollar AS dipastikan kembali melesat.

Dengan keperkasaan the greenback, maka harga komoditas akan tertekan. Deddy menganalisa harga minyak di akhir kuartal satu ini akan berada di kisaran US$ 58–US$ 60 per barel. "Saya bertaruh minyak masih bearish," ujar dia.

Keyakinan serupa juga diungkapkan oleh Nanang. Menurut dia, untuk jangka menengah dan jangka panjang, harga minyak masih diliputi sentimen negatif. Ia memperkirakan, hari ini harga minyak bakal bergerak di kisaran US$ 59,30–US$ 60,50 per barel. Sedang Deddy memprediksi harga minyak sepekan ke depan bergerak di rentang  US$ 61,60–US$ 63,50 per barel.

Bila menganalisa secara teknikal, harga minyak saat ini berada di bawah garis moving average (MA) 50 yang mengindikasikan pelemahan. Tetapi dalam jangka menengah dan panjang, harga masih mungkin menguat karena berada di atas MA 100 dan MA 200. Sementara moving average convergence divergence (MACD) di area negatif. Kemudian stochastic di level 18 dan relative strength index (RSI) di level 41.

Selain banjir produksi minyak AS, tingginya ekspektasi kenaikan suku bunga The Federal Reserve pada bulan ini diprediksi menyeret minyak ke bawah US$ 60 per barel. Deddy bilang dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 21-22 Maret ini, suku bunga AS berpotensi naik 25 basis poin. Jika ini terjadi, dollar AS dipastikan kembali melesat.

Dengan keperkasaan the greenback, maka harga komoditas akan tertekan. Deddy menganalisa harga minyak di akhir kuartal satu ini akan berada di kisaran US$ 58–US$ 60 per barel. "Saya bertaruh minyak masih bearish," ujar dia.

Keyakinan serupa juga diungkapkan oleh Nanang. Menurut dia, untuk jangka menengah dan jangka panjang, harga minyak masih diliputi sentimen negatif. Ia memperkirakan, hari ini harga minyak bakal bergerak di kisaran US$ 59,30–US$ 60,50 per barel. Sedang Deddy memprediksi harga minyak sepekan ke depan bergerak di rentang  US$ 61,60–US$ 63,50 per barel.

Bila menganalisa secara teknikal, harga minyak saat ini berada di bawah garis moving average (MA) 50 yang mengindikasikan pelemahan. Tetapi dalam jangka menengah dan panjang, harga masih mungkin menguat karena berada di atas MA 100 dan MA 200. Sementara moving average convergence divergence (MACD) di area negatif. Kemudian stochastic di level 18 dan relative strength index (RSI) di level 41.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati