Tidak hanya Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Turki yang kini menjadi biang kekisruhan perang ekonomi abad milenial ini, Indonesia sudah mulai medeklarasikan perang. Lewat rencana pembatasan masuknya 500 komoditas impor dan kemudian naik menjadi 900 komoditas impor yang dianggap kategori barang konsumsi. Teknisnya, pajak penghasilan (PPh) pasal 22 impor akan naik dari semula empat tarif akan menjadi single tarif. Saat ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 34/2017 tentang Pemungutan PPh Pasal 22, ada empat kategori tarif PPh yakni 2,5%, 5%, 7,5% dan 10%. Tarif termurah 2,5% apabila importir memiliki angka pengenal impor (API), sementara tarif 7,5% apabila tidak memiliki API dari total nilai cost insurance and freight (CIF) sampai pelabuhan Indonesia. Artinya akan semakin banyak beban biaya yang akan ditanggung importir dan nantinya beban itu akan dialihkan ke konsumen di Indonesia. Ada empat jenis tarif pajak impor yang dibebankan kepada importir yakni bea masuk (BM), pajak pertambahan nilai (PPN), PPh impor dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
Berdasarkan buku tarif bea masuk Indonesia rentang tarif bea masuk bahkan melampaui AS dan Tiongkok yang heboh dengan tarif 10%. Tarif bea masuk kita banyak sekali yang di atas 10%. Misalnya barang dengan kode harmonisasi 8443 (alat elektronik) sampai dengan 150% (mobil, sepeda motor). Uniknya, eksportir dan importir tidak gaduh, karena menyebut biaya ekonomi tinggi bagian dari budaya di Indonesia. Bila merunut ke belakang, kehebohan perang dagang dunia karena kenaikan tarif impor dan menjadikan saling balas bermula dari AS dan kemudian Tiongkok. Tarif impor AS semula dalam bentuk single pajak impor sekitar 0,1% dan kemudian dinaikkan menjadi 10% (Kessler, 2018). Meskipun kini AS menciptakan ekonomi protektif dengan menaikkan pajak impor sampai dengan 10%, biaya ekonomi AS tetap murah dibanding Indonesia. Value added tax (PPN) di AS dan Tiongkok dibebankan saat terjadi transaksi di dalam negeri. Demikian pula pajak with holding tax (PPh) ditagihkan setelah barang lepas dari kawasan pabean. Negeri ini memasang empat jenis tarif impor dengan rentang 17,5% hingga 217,5% terhadap nilai CIF sampai pelabuhan Indonesia. Nilai bea masuk dalam rentang 5% sampai 50%, PPN 10%, PPh impor di daerah 2,5% sampai 10%, sementara PPnBM dalam kisaran 0% sampai dengan 150%. Semua jenis pajak tersebut harus diselesaikan pada saat Pemberitahuan Impor Barang (PIB) agar barang bisa dikeluarkan dari kawasan Pabean. Padahal sistem pajak Indonesia demikian rumit. Setelah pajak atas barang tersebut diselesaikan, ketika menjadi bahan perdagangan di dalam negeri Indonesia juga kembali dipungut PPN untuk barang dan PPh untuk jasa bahkan PPnBM kembali jika dikategorikan barang mewah. Sejauh ini bagaimana mengklaim pajak berganda yang sudah dibayarkan sangat mustahil terjadi. Ujung-ujungnya rakyat Indonesia akan terbebani ekonomi biaya tinggi yang sudah turun temurun. Jika sekarang 900 jenis barang konsumsi impor akan dinaikkan tarifnya, meski dari sisi PPh impor, maka sudah barang tentu biaya impor Indonesia akan semakin tinggi. Hanya menaikkan PPh menjadi 10%, maka akan ada tambahan penerimaan negara 7,5%. Dengan rata-rata nilai impor barang konsumsi sebulan US$ 1,5 miliar, maka tambahan penerimaan negara minimal Rp 1,65 triliun per bulan dan akan menjadi Rp 19,78 triliun setahun. Bagi rakyat ketika tarif pajak sektor konsumsi dinaikkan maka dampaknya menjadi multiplier efek dan sangat menyakitkan. Total nilai konsumsi adalah 56,5% produk domestik bruto (PDB) atau sekitar Rp 7.691,35 triliun dalam setahun. Jika 10% saja penduduk Indonesia mengonsumsi produk impor atau senilai Rp 769,13 triliun, maka total beban kenaikan harga yang dibayar penduduk adalah Rp 57,69 triliun. Ini dengan catatan harga barang konsumsi tersebut naik 7,5% sama dengan tarif baru ditetapkan pemerintah. Perang dagang Padahal fakta yang sering terjadi, ketika pajak naik maka harga komoditas akan melonjak sampai 300% hingga pada logistik paling terakhir. Sangat ironis, negara mendapatkan tambahan pendapatan Rp 19,78 triliun, namun rakyat Indonesia mendapatkan beban minimal 292% dari yang diperoleh pemerintah. Model menaikkan PPh Pasal 22 impor ini sama halnya pemerintah melakukan perang dagang dengan penduduk sendiri. Jika AS, Tiongkok dan Turki melakukan perang dagang antar negara, tidak halnya dengan Indonesia. Persoalan mendasar bagi elite pemerintah Indonesia adalah bagaimana menciptakan komoditas konsumsi dapat dipenuhi dari dalam negeri. Mimpi ini sudah demikian usang, namun selalu tidak berhasil dicapai meskipun Presiden sudah berganti tujuh kali. Komoditas konsumsi yang diimpor itu adalah bawang putih, apel, kedelai, anggur, obat-obatan, mentega, susu, parfum, daging sapi beku, beras, sampai garam. Rencana pemerintah ini potensial memunculkan polemik baru bidang perdagangan antar negara dan tarif yang tidak fair akan menjadi sumber masalah. Beberapa waktu lalu, World Trade Organization (WTO) memberi sanksi US$ 350 juta ke Indonesia atas tuduhan larangan atau restriksi impor daging dan hortikultura dari AS. Menurut AS, produk mereka yang direstriksi Indonesia adalah makanan olahan, tanaman, produk hewan lain, dan juga pembatasan impor apel, anggur, kentang, bawang, buah kering, sapi, daging sapi dan ayam. AS menggugat ke forum WTO dan WTO akhirnya menjatuhkan sanksi karena faktanya ekonomi Indonesia terus tumbuh. Selandia Baru juga potensial melakukan klaim sama dengan nilai NZ$ 1 miliar. Namun sejauh ini belum mengajukan klaim sanksi. Kasus ini bermula sejak Januari 2013 karena sikap Indonesia yang membatasi impor. Pada Februari 2013 sampai dengan Juni 2014 dalam mediasi dengan WTO, Indonesia menolak dugaan restriksi, namun tidak disertai dengan bukti.
Berikutnya pada Desember 2016 WTO memenangkan gugatan AS dan Selandia Baru dan segera Indonesia mengajukan banding pada Januari 2017. Hasilnya pada Agustus 2018, negara ini harus menerima kenyataan kekalahan perkara dan sanksi membayar US$ 350 juta. Melihat kronologis dan pengalaman buruk perdagangan internasional Indonesia, pengenaan kenaikan tarif meskipun dari unsur PPh Pasal 22 impor, negeri ini tidak akan kembali lepas dari tuduhan restriksi. Potensi pendapatan tambahan pajak memang akan mencapai Rp 19,78 triliun, namun Rp 5 triliun (US$ 350 juta) harus disetor ke pemerintah Donald Trump. Apakah ini yang akan diinginkan pemerintah?•
Effnu Subiyanto Direktur Koalisi Rakyat Indonesia Reformis (Koridor) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi