JAKARTA. Harga minyak mentah mulai mendingin dalam sepekan terakhir. Ancaman kenaikan produksi minyak Amerika Serikat (AS) mulai menghantui di saat produsen OPEC masih mematuhi kesepakatan pemangkasan produksi. Mengutip
Bloomberg, Jumat (27/1) harga minyak WTI kontrak pengiriman Maret 2017 di New York Mercantile Exchange melemah 1,13% ke level US$ 53,17 per barel dibanding sehari sebelumnya. Dalam sepekan terakhir, harga minyak turun tipis 0,09%. Putu Agus Pransuamitra, Research and Analyst PT Monex Investindo Futures mengatakan, tekanan harga minyak berasal dari kenaikan pasokan minyak Amerika Serikat (AS).
Pekan lalu, American Petroleum Industri (API) melaporkan, pasokan minyak mentah AS naik 2,98 juta barel. Sejalan, data resmi dari Energy Information Administration (EIA) menunjukkan cadangan minyak AS naik 2,8 juta barel. Angka tersebut di atas minggu sebelumnya sebesar 2,3 juta barel serta proyeksi 1,5 juta barel. "Kenaikan produksi minyak AS mengimbangi kesepakatan pembatasan produksi OPEC dan beberapa negara non OPEC," ujarnya. Sejak pertengahan tahun 2016, produksi minyak AS naik sekitar 500.000 ribu barel per hari. Putu melihat, masih ada peluang produksi naik lagi mengingat terus bertambahnya rig pengeboran minyak. Peningkatan produksi AS bisa berdampak negatif bagi harga minyak. Tetapi jika diimbangi kenaikan permintaan, risiko pelemahan harga dapat berkurang. Harapannya, pertumbuhan ekonomi AS dapat terus membaik di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump sehingga akan mendukung kenaikan permintaan minyak. Trump sendiri memiliki sejumlah program atau kebijakan yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam. Di samping itu, pemangkasan produksi minyak OPEC akan terus berjalan sepanjang semester pertama tahun ini. Hal ini diharapkan mampu menjaga tren positif harga minyak. OPEC mengklaim, jika upaya pemangkasan produksi sudah hampir mencapai target sebesar 1,8 juta barel per hari. Salah satu negara anggota OPEC, yakni Libya, memang tidak mengikuti kesepakatan pembatasan produksi. Libya justru ingin kembali meningkatkan produksi minyak yang sempat terganggu oleh konflik di dalam negeri. Libya menyatakan telah memompa minyak hingga 715.000 barel per hari atau tertinggi sejak 2014 dan akan terus meningkatkan produksi tahun ini.
Tetapi Putu menilai, kenaikan produksi minyak OPEC bukan menjadi ancaman bagi pergerakan harga ke depan. "Libya merupakan daerah konflik. Jika ada kenaikan produksi, kemungkinan tidak akan berlangsung lama," lanjut dia. Ancaman justru datang dari potensi menguatnya nilai tukar dollar AS. Presiden Trump belum lama ini menyatakan jika penguatan USD akan beresiko terhadap ekonomi AS. Tetapi jika pertumbuhan ekonomi AS membaik dan angka inflasi naik, Putu memperkirakan penguatan USD tidak dapat dihindari. Apalagi jika The Fed masih akan menaikkan tingkat suku bunga. Jika didukung pemangkasan produksi serta kenaikan permintaan, dia meramal harga minyak sepanjang kuartal pertama tahun ini akan naik ke level US$ 55 - US$ 56 per barel. Tetapi jika pemangkasan produksi OPEC gagal, minyak bisa tertekan ke US$ 49 per barel. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie