Kenaikan royalti masih jadi pro-kontra



JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mengkaji kenaikan tarif royalti perusahaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tahun depan. Pembahasan tersebut dilakukan dengan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI).

Paul Lubis, Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mengatakan, pemerintah mengusulkan ambang batas kenaikan tarif (threshold) sebesar US$ 80 per ton, sedangkan pengusaha menginginkan treshold US$ 100 per ton. Tapi, "Kami fair-lah, dan kelihatannya bisa threshold-nya US$ 90 per ton," kata Paul di kantornya, Rabu (23/7).

Seperti diketahui, sekarang ini, berdasarkan PP Nomor 9/2012, tarif royalti batubara yang berlaku untuk izin usaha pertambangan (IUP) yaitu, kualitas kalori rendah atawa di bawah 5.100 kkal/kg sebesar 3% dari harga jual, kualitas sedang atau kualitas 5.100 kkal/kg hingga 6.100 kkal/kg sebesar 5% dari harga jual. Sedangkan kualitas tinggi atau di atas 6.100 kkal/kg mencapai 7% dari harga jual.


Sementara, tarif royalti plus pengembangan batubara untuk pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) dipungut rata-rata sebesar 13,5% dari harga jual.

Rencananya, tarif royalti untuk IUP ini akan dinaikkan secara progresif tergantung berlakunya harga batubara acuan (HBA) setelah melewati threshold, yakni menjadi 7%, 9%, dan 13,5% tergantung dengan kadar kualitas produksi batubara.

Namun, Harry Asmar, Direktur Utama PT Reswara Minergi Hartama masih menolak rencana kenaikan royalti ini, karena mengganggu industri tambang. "Padahal pemerintah pada awalnya memberikan tarif royalti rendah untuk mengundang investor, namun giliran kami telah berinvestasi kok tiba-tiba dinaikkan begitu saja," kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan