Kenaikan suku bunga BI dibutuhkan, meski efeknya ke rupiah hanya sesaat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kendati dampak kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI 7-day reverse repo rate terhadap nilai tukar rupiah hanya berlangsung sesaat, kenaikan tersebut pada dasarnya tetap dibutuhkan.

Analis Pasar Uang Bank Mandiri, Reny Eka Putri menyampaikan, kenaikan suku bunga acuan BI sangat dibutuhkan di tengah minimnya katalis positif terhadap pergerakan kurs rupiah. Lebih lanjut, selain untuk menstabilkan kembali volatilitas rupiah, kenaikan BI 7-Day Repo Rate sebenarnya juga untuk mengantisipasi kenaikan inflasi pada bulan Mei hingga Juni.

Potensi naiknya inflasi tak lepas dari momentum Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri yang besar kemungkinan akan meningkatkan permintaan masyarakat di sektor konsumsi.


“Justru kalau BI menunda kenaikan suku bunga acuan, maka tindakan itu melawan ekspektasi para pelaku pasar. Tentu hal itu bisa berdampak negatif pada rupiah,” imbuh Reny, hari ini.

Reny berharap, pemerintah tidak hanya akan menaikan BI 7-Day Repo Rate satu kali saja di tahun ini demi menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Idealnya, BI 7-Day Repo Rate dapat naik secara bertahap hingga 50 bps sepanjang tahun ini. Hal tersebut dilakukan karena potensi tekanan eksternal yang mendera rupiah masih akan berlanjut hingga akhir tahun.

Sementara itu, Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia, Lana Soelistianingsih menyebut, selain untuk menjaga posisi kurs rupiah, kenaikan BI 7-Day Repo Rate yang berkelanjutan diperlukan untuk menjaga kepercayaan investor terhadap pasar keuangan Indonesia. “Investor asing belum tentu serta-merta kembali ke Indonesia kalau kebijakan ini selesai begitu saja,” ujarnya, hari ini.

Kenaikan BI 7-Day Repo Rate sendiri dinilai Lana hanya merupakan salah satu senjata BI dalam menjaga stabilitas rupiah. Sebab, tidak mungkin BI terus-menerus mengandalkan cadangan devisa untuk mengintervensi rupiah.

Oleh karena itu, ia berpendapat, pemerintah perlu melakukan upaya-upaya lain yang dapat meningkatkan fundamental ekonomi Indonesia, sehingga ujungnya rupiah bisa mampu bertahan di tengah tekanan eksternal.

Upaya yang dimaksud misalnya dengan menjaga agar neraca perdagangan Indonesia tetap sehat. Dalam hal ini, kalaupun masih terjadi defisit pada neraca tersebut, faktor penyebabnya bukan berasal dari banyaknya pengeluaran yang bersifat konsumtif.

Menurut Lana, hingga akhir tahun kurs rupiah bisa kembali menguat di kisaran Rp 13.700 per dollar AS. Level ini dianggap paling realistis dengan mempertimbangkan dampak kenaikan suku bunga acuan AS. Namun, bisa saja rupiah melebihi level tersebut apabila ada pengaruh dari kebijakan kontroversial pemerintahan AS atau efek konflik geopolitik.

Reny juga yakin rupiah bisa kembali ke level di bawah Rp 14.000 pada akhir tahun nanti. Ia memprediksi, di akhir tahun nanti rupiah akan berada di rentang Rp 13.750—Rp 13.850 per dollar AS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sofyan Hidayat