Kenaikan tarif kargo rugikan eksportir komoditi pertanian



JAKARTA. Rencana kenaikan tarif jasa kargo di Bandara Soekarno Hatta sebagai imbas dari penggantian pengelola kargo menuai protes dari kalangan eksportir komoditi pertanian. Pasalnya, kenaikan tarif kargo ini akan berakibat pembengkakan biaya produksi komoditi ekspor. Alhasil, daya saing produk pertanian yang diekspor menurun.Ketua Asosiasi Eksportir Sayur dan Buah Indonesia Hasan J.Widjaja mengatakan kenaikan tarif jasa kargo ini akan memukul para eksportir, terutama eksportir buah dan sayuran. "Pasalnya, kemampuan eksportir sayur dan buah tidak sebesar eksportir lainnya," ujarnya kepada KONTAN Jumat (13/5).Menurutnya, jika tarif ekspor dinaikkan, bisa jadi daya saing produk ekspor bisa menurun karena harga produk pertanian asal Indonesia menjadi lebih mahal ketimbang produk sejenis dari negara lain. Dampak lainnya, "Bila eksportir sudah tidak mampu menahan pembengkakan biaya ini, alhasil volume ekspor sayur dan buah Indonesia bisa menurun," katanya.Seperti diketahui, berdasarkan hasil revisi Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor 47/2010 tentang pengalihan pemeriksaan kargo di bandara kepada regulated agent (RA), maka terhitung 16 Mei 2011 nanti akan dilakukan pengalihan pengelolaan kargo di bandara.Selama ini, pengelola kargo di bandara adalah PT JAS Airport Service. Setelah ada revisi itu, pengelolanya berpindah kepada tiga perusahaan baru, yakni PT Duta Angkasa Prima Kargo, PT Fajar Anugerah Sejahtera, serta PT Gita Aviantrans.Nah, persoalan menjadi pelik ketika ketiga pengelola kargo yang baru ini menaikkan tarif jas. Ketiga perusahaan itu memungut biaya jasa kargo antara Rp 700 per kilogram barang hingga Rp 900 per kg, tergantung tiap perusahaan. Selama ini, JAS Airport memungut sekitar Rp 245 per kg.Hasan mengatakan selama ini ongkos angkut membebani total biaya produksi para eksportir sekitar 30%. Nah, jika biaya kargo dinaikkan, otomatis ini akan memukul para eksportir. Padahal, "Kita juga dituntut untuk bisa bersaing dengan eksportir dari negara lain," katanya.Ia mencontohkan, selama ini para eksportir banyak mengekspor sayur dan buah ke Singapura. Negara lain yang juga mengekspor komoditi sejenis ke Singapura adalah Malaysia dan China. Tahun 2009, Indonesia hanya bisa merebut 6% porsi kebutuhan sayur dan buah di Singapura sebanyak 461.165 ton.

Sedangkan Malaysia dan China masing-masing memiliki porsi sekitar 48% dan 28%. "Kalau daya saing kita menurun, porsi ekspor ke Singapura bisa semakin kecil," ungkap Hasan.Para eksportir sayur dan buah meminta agar keputusan menaikkan tarif jasa kargo ini dibatalkan. Menurut Hasan, harusnya para operator jasa kargo melakukan efisiensi saja, sehingga tidak perlu menaikkan tarif jasa kargo. Pilihan lainnya, operator jasa kargo memberlakukan tarif yang berbeda untuk masing-masing jenis komoditi.Jika tidak, Hasan khawatir volume ekspor buah dan sayuran nasional akan menurun karena tak bisa bersaing dengan negara lain. Hanya saja, Hasan belum bisa memperkirakan besaran penurunan volume ekspor ini.Hal yang sama juga dikemukakan oleh Togaraja Manurung, Ketua Asosiasi Minyak Atsiri Indonesia mengungkapkan tidak setuju dengan kenaikan tarif kargo ini. "Kita tidak setuju kalau tarif kargo naik," ujarnya. Hanya saja, ia belum bisa berkomentar lebih lanjut karena belum mengetahui adanya aturan baru ini. Menurutnya, selama ini minyak atsiri Indonesia banyak diekspor ke Amerika Serikat, Eropa dan India.Catatan saja, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sepanjang Januari - Maret 2011 ini volume ekspor sayuran nasional sebesar 52.139 ton. Sedangkan volume ekspor buah-buahan tercatat sebesar 143.126 ton. Sementara itu, volume ekspor untuk produk minyak atsiri, dan kosmetik wewangian selama tiga bulan pertama tahun ini sebesar 21.976 ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Rizki Caturini