KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Rencana pemerintah untuk tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025 mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan, salah satunya dari lembaga kajian Next Policy. Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menilai kebijakan tersebut berpotensi memperburuk ketimpangan ekonomi di Indonesia, terutama karena PPN dianggap lebih regresif dibandingkan Pajak Penghasilan (PPh), yang membebani orang miskin lebih berat daripada orang kaya. "PPN lebih bersifat regresif karena dibayarkan saat pendapatan dibelanjakan untuk barang dan jasa dengan tarif tunggal terlepas berapapun tingkat pendapatan konsumen. Karena itu setiap kenaikan tarif PPN akan berimplikasi pada kesenjangan yang semakin tinggi,” ujar Yusuf dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/12).
Baca Juga: Kenaikan Tarif PPN Jadi 12% Mulai Januari 2025 Tuai Pro dan Kontra Berdasarkan data estimasi pengeluaran rumah tangga tahun 2023, meski tarif PPN masih 11%, beban pajak yang ditanggung oleh konsumen miskin mencapai 5,56% dari pengeluaran mereka, sementara konsumen kelas atas hanya menanggung 6,54%. Oleh karena itu, beban PPN yang hampir merata ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif menjadi 12% akan semakin menekan daya beli kelompok miskin dan menengah. Simulasi Next Policy juga menunjukkan bahwa beban PPN terbesar justru ditanggung oleh kelas menengah. Dari total beban PPN sekitar Rp 294,2 triliun pada 2023, sekitar 40,8% atau Rp 120,2 triliun dibayar oleh kelas menengah, yang hanya mencakup 18,8% dari total jumlah penduduk. "Kelas menengah yang sudah mengalami tekanan ekonomi besar akan semakin tergerus oleh kebijakan ini," tegasnya. Yusuf juga mengungkapkan, kenaikan tarif PPN berpotensi melemahkan ketahanan ekonomi masyarakat, termasuk kelas menengah yang sebelumnya tergolong lebih tahan terhadap guncangan ekonomi. Ia mencatat, pasca-kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022, jumlah penduduk kelas menengah menurun dari 56,2 juta orang (20,68%) pada Maret 2021 menjadi 52,1 juta orang (18,83%) pada Maret 2023. "Penduduk kelas menengah ini jatuh ke kelas ekonomi yang lebih rendah dengan ketahanan ekonomi yang semakin lemah," kata Yusuf.
Baca Juga: Kelas Menengah Makin Terpuruk, Ekonom Sarankan Pemerintah Pangkas Tarif PPN Jadi 9% Sementara itu, penduduk calon kelas menengah melonjak dari 139,2 juta orang (51,27%) pada Maret 2021 menjadi 147,8 juta orang (53,41%) pada Maret 2023. Dampak negatif Kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 dipastikan akan semakin menekan daya beli masyarakat yang terlihat semakin melemah, terutama kelas menengah dan kelas bawah. Kejatuhan daya beli masyarakat telah melemahkan pertumbuhan ekonomi dalam tahun-tahun terakhir, terutama pasca kenaikan tarif PPN menjadi 11% pada 2022. Ia mencatat, setelah pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,31% pada 2022, angka tersebut menurun menjadi 5,05% pada 2023. Bahkan, dengan adanya dorongan pemilu pada 2024, diperkirakan pertumbuhan ekonomi akan stagnan di kisaran 5%. Selain itu, Yusuf memperingatkan, kenaikan tarif PPN akan mendorong inflasi yang tidak akan ringan. “PPN berlaku secara masif pada mayoritas barang dan jasa, sehingga kenaikan tarif ini akan memberikan tekanan psikologis pada harga barang secara umum,” katanya. Bahkan barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan dan listrik pelanggan rumah tangga, yang selama ini dibebaskan PPN, kini akan terkena PPN 12% ketika dipandang pemerintah “tergolong mewah”. "Tekanan kenaikan tarif PPN pada tergerusnya daya beli masyarakat karena banyaknya barang dan jasa yang secara resmi bukan kebutuhan pokok namun secara empiris telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan terkena kenaikan tarif PPN ini seperti pakaian, sabun, pulsa internet, hingga layanan transaksi dengan uang elektronik," kata Yusuf.
Baca Juga: Harga Beras Berpotensi Terkerek Imbas Kenaikan Tarif PPN jadi 12% Pada Tahun Depan Meski pemerintah berencana meluncurkan paket stimulus untuk kesejahteraan seperti bantuan beras untuk 16 juta keluarga dan diskon tarif listrik, Yusuf menilai kompensasi tersebut tidak cukup untuk menutupi dampak kenaikan PPN yang bersifat permanen. Ia juga menyoroti pemberian insentif kepada kelas atas, seperti insentif PPN senilai Rp 15,7 triliun untuk pembelian kendaraan listrik dan pembelian rumah hingga Rp 5 miliar, yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip keadilan pajak.
“Kompensasi yang diberikan pemerintah tidak cukup untuk menutupi tekanan ekonomi yang akan dirasakan masyarakat akibat kenaikan tarif PPN ini. Bahkan, kebijakan insentif untuk kelas atas justru menunjukkan ketimpangan dalam prioritas kebijakan pemerintah,” kata Yusuf.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat