JAKARTA. Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada Juni mendatang berimbas pada kenaikan tarif kereta rel listrik (KRL) kelas ekonomi dan non ekonomi. Kenaikan tarif KRL akan menyesuaikan presentase kenaikan TDL yang ditetapkan.“Perhitungan kenaikannya, jika TDL akan naik sebesar 15%, tarif KA akan naik sebesar 10%. Kewenangan menaikkan tarif kelas ekonomi berada di Kementerian Perhubungan, sedangkan untuk nonekonomi wewenang PT KAI,” kata Sekretaris Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Nugroho Indriyo, Kamis (10/5).Menurutnya, dengan adanya kenaikan tarif KRL, diharapkan mampu memperbaiki kualitas fasilitas dan kualitas layanan khususnya pada KRL Jabodetabek. “Kenaikan KRL tidak signifikan. Dengan kenaikan tarif KRL, kami berharap, kualitas dan fasilitas layanan bisa lebih baik,” paparnya.Sebelumnya, Pelaksana Harian Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan Zulkarnaen Oeyoeb menyatakan, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan semua elemen masyarakat yang peduli akan transportasi KA di Indonesia agar memahami rencana ini. “Kami mengharapkan, semua elemen mempunyai persepsi yang sama, yakni rencana kenaikan bertujuan untuk membangun sistem perkeretaapian tanah air,” tukasnya.Terkait hal ini, pengamat perkeretaapian Taufik Hidayat mengatakan, tarif KRL Jabodetabek yang kini berlaku memang sudah tidak rasional. Pasalnya, untuk pengadaan satu unit gerbong, biayanya kini mencapai Rp8 miliar.“Berarti, dibutuhkan biaya Rp 32 miliar untuk satu rangkaian KRL yang berisi empat gerbong. Saat ini, tarif KRL sudah tidak rasional. Hanya, perlu diingat bahwa PT Kereta Api (Persero) memperoleh subsidi berupa public service obligation (PSO), karena adanya kewajiban pelayanan umum yang dibebankan kepada perseroan,” tandas Taufik.Dia menambahkan, dana PSO yang sebesar Rp125 miliar per tahun untuk KRL harus mampu menutupi biaya operasional sekitar 300 gerbong KRL. “Dana PSO tersebut masih harus dipangkas lagi, karena keuangan negara tidak memadai. Akibatnya, operator menghadapi kendala,” katanya.Berdasarkan kajian tim tersebut, imbuh Taufik, idealnya mekanisme pembukuan PSO untuk KRL harus dibedakan dengan KA lainnya. Hal itu bertujuan memperjelas aliran dana PSO setiap tahun. Pemisahan tersebut sejalan dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 45/2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN.“Namun, sejak dikeluarkannya PP No 45/2005, manajemen belum juga melakukan pemisahan pembukuan PSO. Hal tersebut menjadi salah satu pemicu buruknya kualitas pelayanan KRL,” paparnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Kenaikan TDL Pengaruhi Tarif KRL
JAKARTA. Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada Juni mendatang berimbas pada kenaikan tarif kereta rel listrik (KRL) kelas ekonomi dan non ekonomi. Kenaikan tarif KRL akan menyesuaikan presentase kenaikan TDL yang ditetapkan.“Perhitungan kenaikannya, jika TDL akan naik sebesar 15%, tarif KA akan naik sebesar 10%. Kewenangan menaikkan tarif kelas ekonomi berada di Kementerian Perhubungan, sedangkan untuk nonekonomi wewenang PT KAI,” kata Sekretaris Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Nugroho Indriyo, Kamis (10/5).Menurutnya, dengan adanya kenaikan tarif KRL, diharapkan mampu memperbaiki kualitas fasilitas dan kualitas layanan khususnya pada KRL Jabodetabek. “Kenaikan KRL tidak signifikan. Dengan kenaikan tarif KRL, kami berharap, kualitas dan fasilitas layanan bisa lebih baik,” paparnya.Sebelumnya, Pelaksana Harian Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan Zulkarnaen Oeyoeb menyatakan, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan semua elemen masyarakat yang peduli akan transportasi KA di Indonesia agar memahami rencana ini. “Kami mengharapkan, semua elemen mempunyai persepsi yang sama, yakni rencana kenaikan bertujuan untuk membangun sistem perkeretaapian tanah air,” tukasnya.Terkait hal ini, pengamat perkeretaapian Taufik Hidayat mengatakan, tarif KRL Jabodetabek yang kini berlaku memang sudah tidak rasional. Pasalnya, untuk pengadaan satu unit gerbong, biayanya kini mencapai Rp8 miliar.“Berarti, dibutuhkan biaya Rp 32 miliar untuk satu rangkaian KRL yang berisi empat gerbong. Saat ini, tarif KRL sudah tidak rasional. Hanya, perlu diingat bahwa PT Kereta Api (Persero) memperoleh subsidi berupa public service obligation (PSO), karena adanya kewajiban pelayanan umum yang dibebankan kepada perseroan,” tandas Taufik.Dia menambahkan, dana PSO yang sebesar Rp125 miliar per tahun untuk KRL harus mampu menutupi biaya operasional sekitar 300 gerbong KRL. “Dana PSO tersebut masih harus dipangkas lagi, karena keuangan negara tidak memadai. Akibatnya, operator menghadapi kendala,” katanya.Berdasarkan kajian tim tersebut, imbuh Taufik, idealnya mekanisme pembukuan PSO untuk KRL harus dibedakan dengan KA lainnya. Hal itu bertujuan memperjelas aliran dana PSO setiap tahun. Pemisahan tersebut sejalan dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 45/2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN.“Namun, sejak dikeluarkannya PP No 45/2005, manajemen belum juga melakukan pemisahan pembukuan PSO. Hal tersebut menjadi salah satu pemicu buruknya kualitas pelayanan KRL,” paparnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News