KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah secara resmi menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2025 sebesar 6,5%, yang diumumkan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara pada 29 November 2024. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan daya beli masyarakat, melindungi pekerja, dan menjadi jaring pengaman sosial, terutama bagi buruh dengan masa kerja kurang dari 12 bulan.
Perubahan Kebijakan dan Dampaknya pada UMP
Kenaikan sebesar 6,5% ini lebih tinggi dari usulan awal Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, yang sebelumnya hanya menyarankan kenaikan 6%.
Baca Juga: UMP Naik Jadi 6,5%, Kadin: Tidak Mudah Bagi Sektor Padat Karya Keputusan ini diambil untuk memenuhi kebutuhan buruh sekaligus mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 sebagai turunan Undang-Undang Cipta Kerja. UMP berbagai wilayah akan meningkat secara signifikan. Sebagai contoh, UMP DKI Jakarta naik dari Rp 5.067.381 menjadi Rp 5.396.760, sementara di Banten, UMP naik dari Rp 2.727.812 menjadi Rp 2.905.119. Wilayah lain seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat juga mengalami kenaikan, masing-masing menjadi Rp 2.169.348 dan Rp 2.191.232.
Mekanisme Penetapan Upah Minimum Sektoral
Selain UMP, perhatian juga tertuju pada upah minimum sektoral yang ditentukan berdasarkan sektor usaha tertentu sesuai klasifikasi Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Upah minimum sektoral tidak boleh lebih rendah dari UMP atau UMK. Proses negosiasi antara serikat buruh, pengusaha, dan pemerintah daerah akan menentukan besarannya, yang dapat lebih tinggi jika kepala daerah mendukung buruh. Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios, kenaikan UMP 6,5% memiliki efek positif terhadap daya beli masyarakat.
Baca Juga: Apindo Sebut Kenaikan Upah Minimum 6,5% Picu Gelombang PHK Simulasi menunjukkan surplus usaha dapat mencapai Rp 61,84 triliun pada kenaikan 8,7% dan Rp 71,08 triliun pada kenaikan 10%. Namun, Bhima menilai kenaikan ini masih kurang optimal untuk mendorong konsumsi rumah tangga, dengan kenaikan ideal berada di kisaran 8,7%-10%.
Kekhawatiran di Kalangan Pengusaha
Kalangan pengusaha menghadapi tantangan berat akibat kebijakan ini. Ketua Apindo, Bob Azam, menyoroti kurangnya landasan pemerintah dalam menetapkan kenaikan UMP. Pengusaha menghadapi tekanan seperti peningkatan produk impor, pelemahan nilai tukar, dan ancaman kenaikan PPN menjadi 12%. Sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) mengalami dampak signifikan, terutama di sektor hilir dengan biaya tenaga kerja mencapai 25% dari struktur biaya.
Baca Juga: Pemerintah Berharap Kenaikan Upah Minimum 6,5% Jaga Daya Beli Kelas Menengah Banyak pabrik diperkirakan kesulitan memenuhi kenaikan UMP ini. Sektor petrokimia juga menghadapi tantangan, dengan tingkat utilisasi yang menurun hingga 50%.
Respon Serikat Pekerja
Serikat pekerja, melalui KSPI, menyambut baik kebijakan ini meskipun kenaikannya belum mencapai angka yang ideal. Said Iqbal, Presiden KSPI, menyebutkan bahwa kenaikan 6,5% mendekati tuntutan buruh sebesar 8% dan sudah melampaui tingkat inflasi. Nailul Huda dari Celios memperingatkan bahwa inflasi diperkirakan mencapai 4,1% jika PPN dinaikkan menjadi 12%. Kenaikan UMP sebesar 6,5% hanya memberikan tambahan pendapatan riil sekitar 3%, sehingga tidak cukup signifikan untuk melawan dampak inflasi, terutama di kalangan kelas menengah ke bawah yang mayoritas pengeluarannya untuk kebutuhan pangan.
Baca Juga: UMP 2025 Naik 6,5%, Ini Perhitungan UMP Jakarta, Jabar, Banten, Jateng, Jatim Harapan Pemerintah
Kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5% mencerminkan upaya pemerintah menciptakan keseimbangan antara kepentingan pekerja dan pengusaha. Namun, keberhasilan kebijakan ini memerlukan langkah-langkah lanjutan, seperti pemberian insentif bagi pelaku usaha, pengendalian impor, dan perbaikan regulasi.
Sinergi antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja sangat diperlukan untuk memastikan perekonomian Indonesia tetap tumbuh secara berkelanjutan di tengah tantangan global dan domestik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .