KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Utang Indonesia makin meningkat, setidaknya selama beberapa tahun belakangan. Seiring dengan membengkaknya utang, beban bunga utang Indonesia juga meningkat. Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, memang naiknya beban bunga utang ini menjadi beban bagi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), karena beban pembayaran pasti meningkat. “Beban bunga utang pasti memberi beban tambahan, karena beban pembayaran meningkat. Namun, ini juga harus dilihat secara relatif dengan penggunaan utang selama ini untuk apa,” terang David kepada Kontan.co.id, Rabu (26/10).
Baca Juga: Sri Mulyani Sebut Lebih dari 60 Negara akan Alami Krisis Utang Bila menilik data anggaran pendapatan dan belanja (APBN), pada tahun 2020 utang pemerintah bengkak menjadi Rp 6.074 triliun, dari utang pada tahun 2019 yang sebesar Rp 4.786 triliun. Pun pembayaran bunga utang pada tahun 2020 naik menjado Rp 314,1 triliun pada 2020 dari Rp 275,5 triliun pada tahun 2019. Utang kembali naik pada tahun 2021 menjadi Rp 6.908 triliun. Sementara hingga awal tahun 2022 hingga September 2022, realisasi pembayaran utang sudah mencapai Rp Rp 7.420,47 triliun. Bila melihat angka tersebut, David melihat pembengkakan utang digunakan pemerintah untuk menjaga perekonomoian dari hantaman badai Covid-19. Ini merupakan sesuatu yang urgent, untuk menjaga perekonomian tetap berjalan meski sedang lesu. Sedangkan pada tahun 2021 dan 2022 yang sudah mulai menunjukkan geliat, utang bisa digunakan untuk menjaga perekonomian yang tengah pulih. David juga menyebut, ini sebagai konsekuensi karena semua negara pun mengalami hal yang sama. Namun, bukan berarti Indonesia tak perlu waspada. David tetap menyarankan pemerintah untuk tetap memperhatikan penambahan utang. Beberapa hal bisa dilakukan saat penarikan utang selanjutnya.
Baca Juga: Berpotensi Naik, Rasio DSR Perlu Dijaga Pertama, dengan mencari sumber pembiayaan yang lebih murah. Ini bisa menekan beban utang dan beban bunga utang yang nantinya bakal dibayarkan oleh pemerintah.
Kedua, mengkombinasikan pemanfaatan sumber pembiayaan yang murah dengan mencari cara agar imbal hasil (yield) surat berharga negara (SBN) tidak terlalu tinggi dan baiknya setara dengan negara berkembang lainnya.
Ketiga, mengoptimalkan pembiayaan dari domestik, seiring dengan ketidakpastian di pasar keuangan global. Sejauh ini ia telah mengapresiasi bahwa porsi investor domestik di SBN makin besar.
Keempat, memaksimalkan penarikan utang untuk belanja yang produktif. "Selama dia bisa dorong pertumbuhan. Efektivitas itu harus diperbaiki. Jadi, harus menimbulkan
multiplier effect. Jadi emang alokasi dan penarikan utang harus efektif sehingga bisa tambah
mulplier effect," tandas David. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi