KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan
yield obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) alias US Treasury (UST) turut mengerek
yield obligasi pemerintah dan korporasi di Indonesia. Sebagaimana diketahui,
yield UST beranjak ke atas level 4,7% pada awal Oktober 2023, dari kisaran 4% pada akhir Agustus 2023. Yield UST ini mencapai level tertinggi sejak 2007 atau dalam 16 tahun terakhir. Chief Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Suhindarto mengatakan, kenaikan
yield UST memang menjadi penyebab peningkatan
yield obligasi korporasi, tetapi tidak secara langsung. Pada mulanya, kenaikan
yield obligasi AS mendorong kenaikan
yield obligasi pemerintah atawa surat utang negara (SUN). Karena menjadi
benchmark, kenaikan
yield obligasi pemerintah pada akhirnya berdampak pada kenaikan
yield obligasi korporasi, mengasumsikan premi obligasi korporasi konstan. Secara sederhana,
pricing yield obligasi korporasi bisa dituliskan ke dalam persamaan bahwa
yield obligasi korporasi sama dengan
yield obligasi pemerintah ditambah premi obligasi korporasi.
Jadi meski premi obligasi korporasi tidak berubah, kenaikan
yield obligasi pemerintah akhirnya akan mendorong naik
yield obligasi korporasi. Sementara itu, tingkat
yield obligasi pemerintah dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk suku bunga dan
yield obligasi AS.
Baca Juga: Sinyal The Fed Hawkish Lagi, Rupiah Ditutup Melemah di Perdagangan Rabu (4/10) Suhindarto melihat, sebagian besar
yield obligasi korporasi naik sejak akhir Agustus 2023 hingga 3 Oktober 2023 dengan kenaikan yang beragam. Berdasarkan data dari Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI), kenaikan lebih tinggi terjadi pada tenor yang lebih panjang untuk kategori peringkat BBB dan AAA. Misalnya, untuk tenor favorit penerbitan (3 tahun),
yield obligasi korporasi berperingkat AAA telah naik 35 bps sejak akhir Agustus 2023 menjadi 7,08% per 3 Oktober 2023. “Kenaikan di atas 30 bps juga terjadi pada
yield obligasi korporasi berperingkat A dan BBB, masing-masing 39 bps dan 31 bps menjadi 9,07% dan 11,06% di periode yang sama,” ungkap Suhindarto saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (4/10). Untuk ke depannya, Suhindarto menilai prospek pasar obligasi akan lebih baik dan tetap menarik karena didukung beberapa alasan.
Pertama,
pricing obligasi domestik masih cukup menarik bagi asing karena menawarkan premi yang cukup tinggi dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Indonesia masih menawarkan premi sekitar 400 bps di atas pasar AS dan lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Bahkan, premi obligasi Thailand tercatat negatif karena
yield-nya lebih rendah daripada pasar AS. “Kuncinya sekarang ini adalah mempertahankan stabilitas nilai tukar untuk mempertahankan minat investor asing,” ucap Suhindarto.
Baca Juga: Melemah Hari Ini, Rupiah Berpotensi Terperosok ke Level Rp 16.000 Per Dolar AS Kedua, fundamental permintaan dan penawaran tetap mendukung harga. Permintaan domestik tetap solid yang salah satunya didukung oleh tumbuhnya kepemilikan investor retail. Di sisi lain, pasokan baru juga akan lebih terbatas karena surplus anggaran baru-baru ini dan target defisit anggaran yang lebih rendah oleh pemerintah. Sebagai hasilnya, permintaan dan penawaran tetap terjaga untuk mendukung harga obligasi tetap menarik.
Ketiga, adanya ekspektasi pelonggaran moneter yang menjadi katalis bagi kenaikan harga ke depan. Tingkat inflasi yang telah berada pada rentang target Bank Indonesia meningkatkan ekspektasi untuk kebijakan moneter yang lebih longgar. Sebagaimana diketahui, penurunan suku bunga berkorelasi negatif dengan harga obligasi. Jika suku bunga turun, harga obligasi akan cenderung naik, sedangkan
yield turun.
Keempat,
risk averse membuat obligasi pemerintah menjadi pilihan. Suhindarto melihat ketidakpastian global yang tinggi akan mendorong investor asing untuk memburu aset
safe havens. Hal ini akan membuat mereka lebih memilih masuk obligasi pemerintah karena dinilai memiliki risiko yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan saham. “Meski kami masih memandang positif prospek obligasi domestik, kami juga menyadari, pasar akan menghadapi volatilitas tinggi akibat meningkatnya aktivitas spekulatif di tengah ketidakpastian di pasar keuangan global,” tutur Suhindarto.
Baca Juga: Simak Prediksi IHSG dan Rekomendasi Saham untuk Kamis (5/10) Berikut Ini Di sisi lain, dari domestik, risiko utama bagi pasar obligasi adalah meningkatnya risiko translasi akibat nilai tukar rupiah yang tertekan di tengah surplus dagang yang menipis dan tekanan arus keluar modal asing. Depresiasi rupiah yang tajam dalam beberapa pekan terakhir terjadi karena surplus dagang sudah semakin menyempit. Selain itu, rupiah juga menghadapi ancaman dari tekanan arus keluar modal asing, mempertimbangkan
spread antara suku bunga domestik dengan pasar AS berada pada level terendah sepanjang sejarah. Saat ini,
real yield AS juga kembali positif, membuatnya lebih menarik bagi investor global. Kondisi ini mengakibatkan rupiah rentan terhadap serangan spekulatif, sebagaimana yang terjadi baru-baru ini.
Director & Chief Investment Officer, Fixed Income Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Ezra Nazula pun memperkirakan, prospek pasar obligasi pada umumnya akan membaik setelah The Fed menyelesaikan siklus kenaikan suku bunganya yang kemungkinan terjadi pada November mendatang. Pasar akan menyambut positif selesainya siklus kenaikan tersebut. “Hal ini membuka ruang bagi Bank Indonesia untuk memulai penurunan suku bunganya setelah penguatan dolar AS selesai,” ucap Ezra. Ia memprediksi, dengan kondisi terkini,
yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun akan turun ke level 6,25%-6,5% di akhir tahun 2023 dari level per 4 Oktober 2023 yang berada di 7,08%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati