JAKARTA. Otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) memiliki peraturan penghapusan saham emiten secara paksa atau forced delisting jika saham emiten yang bersangkutan disuspensi pihak bursa selama dua tahun. Lantas, mengapa forced delisting harus menunggu dua tahun? Mengapa tidak setahun, tiga tahun atau opsi waktu-waktu lain? Hoesen, Direktur Penilaian Perusahaan BEI mengatakan, waktu dua tahun itu merupakan waktu yang paling logis dan paling ideal. "Asumsinya, setahun pertama itu dihabiskan untuk urusan birokrasi, setahun berikutnya digunakan untuk proven operasionalnya," jelasnya, Jumat (8/11). Misalnya, ada sebuah emiten, katakanlah emiten tekstil yang sedang menghadapi masalah kebangkrutan sehingga sahamnya terpaksa disuspensi bursa. Setelah berbagai upaya negosiasi, akhirnya emiten ini memutuskan untuk mengubah lini bisnisnya menjadi emiten konsumer. Semua proses itu tentunya wajib melalui beberapa proses mulai dari tingkatan investor seperti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) hingga tingkatan instansi pemerintah seperti soal perizinan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenhumkam). Urusan birokrasi ini paling tidak membutuhkan waktu setahun. Setelah itu, emiten tersebut sudah mulai menjalankan bisnis barunya, tapi belum tentu bisa langsung berjalan maksimal karena masih membutuhkan waktu untuk konsolidasi pada operasional baru. Nah, tahun kedua inilah yang digunakan sebagai waktu pembuktian prospek bisnis baru yang dijalankan emiten itu. Hoesen melanjutkan, sebenarnya ada beberapa emiten yang meminta tenggat waktu eksekusi forced delisting lebih dari dua tahun. "Tapi, kalau kelamaan, kan, enggak bisa juga. Makanya, jika kira-kira bisnisnya sudah mulai ada masalah, ya, coba ganti usaha sebelum bisnisnya menjadi benar-benar tidak ada," jelasnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Kenapa forced delisting dilakukan setelah 2 tahun?
JAKARTA. Otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) memiliki peraturan penghapusan saham emiten secara paksa atau forced delisting jika saham emiten yang bersangkutan disuspensi pihak bursa selama dua tahun. Lantas, mengapa forced delisting harus menunggu dua tahun? Mengapa tidak setahun, tiga tahun atau opsi waktu-waktu lain? Hoesen, Direktur Penilaian Perusahaan BEI mengatakan, waktu dua tahun itu merupakan waktu yang paling logis dan paling ideal. "Asumsinya, setahun pertama itu dihabiskan untuk urusan birokrasi, setahun berikutnya digunakan untuk proven operasionalnya," jelasnya, Jumat (8/11). Misalnya, ada sebuah emiten, katakanlah emiten tekstil yang sedang menghadapi masalah kebangkrutan sehingga sahamnya terpaksa disuspensi bursa. Setelah berbagai upaya negosiasi, akhirnya emiten ini memutuskan untuk mengubah lini bisnisnya menjadi emiten konsumer. Semua proses itu tentunya wajib melalui beberapa proses mulai dari tingkatan investor seperti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) hingga tingkatan instansi pemerintah seperti soal perizinan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenhumkam). Urusan birokrasi ini paling tidak membutuhkan waktu setahun. Setelah itu, emiten tersebut sudah mulai menjalankan bisnis barunya, tapi belum tentu bisa langsung berjalan maksimal karena masih membutuhkan waktu untuk konsolidasi pada operasional baru. Nah, tahun kedua inilah yang digunakan sebagai waktu pembuktian prospek bisnis baru yang dijalankan emiten itu. Hoesen melanjutkan, sebenarnya ada beberapa emiten yang meminta tenggat waktu eksekusi forced delisting lebih dari dua tahun. "Tapi, kalau kelamaan, kan, enggak bisa juga. Makanya, jika kira-kira bisnisnya sudah mulai ada masalah, ya, coba ganti usaha sebelum bisnisnya menjadi benar-benar tidak ada," jelasnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News