BONDOWOSO. Jarak 33 kilometer dari rumah ke tempatnya mengajar membuat Evy Yulis harus betul-betul berhitung dalam menggunakan bahan bakar untuk sepeda motornya. Saat pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi Rp 2.000 per liter sehingga harga premium menjadi Rp 8.500 per liter, guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri Sumberwringin, Bondowoso, ini menjadi mantap untuk berpaling ke pertamax. "Waktu BBM belum naik, kadang-kadang saya mengisi pertamax dicampur sama premium. Sekarang murni sudah pakai pertamax. Saya merasa dan menghitung lebih hemat," katanya seperti dikutip
Antara.
Tidak hanya untuk dirinya, dia begitu bersemangat menjelaskan "hitung-hitungan"-nya membandingkan penggunaan premium dengan pertamax itu kepada guru lainnya. Beberapa temannya juga sudah mulai berpindah ke bahan bakar ramah lingkungan. Perempuan yang tinggal di Bataan, Kecamatan Tenggarang, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, ini tidak menghitung per liter dalam penggunaan bahan bakar. Ia menghitung dengan mengisi penuh tangki motor. Ia membandingkan mengisi motornya sekitar 4,5 liter premium seharga Rp 38.250 (satu liter Rp 8.500) yang digunakan selama empat hari pergi pulang. Sementara dengan pertamax yang di Bondowoso harganya Rp 10.600,00 per liter, bisa dia gunakan untuk lima hari. Untuk 4,5 liter pertamax dia menghabiskan Rp 47.700. "Kalau dihitung, 4,5 liter premium dengan 4,5 liter pertamax, selisihnya hanya sekitar Rp 9.000,00 lebih mahal pertamax. Artinya, dengan uang Rp 47 ribu, kalau dibelikan premium atau pertamax, sama-sama bisa saya gunakan untuk lima hari pergi pulang dari rumah ke sekolah," katanya. Guru yang hobi membaca ini menceritakan bahwa dari informasi di internet maupun sejumlah temannya yang mengerti mengenai mesin, penggunaan pertamax justru lebih bagus untuk kendaraan. Selain itu, "tarikan" atau daya pacu kendaraan yang menggunakan pertamax lebih bagus daripada premium. Konsumen yang lain, Erni Agustin, mengaku kini saatnya menggunakan bahan bakar nonsubsidi. Guru matematika SMK Negeri Sumberwringin ini bercerita awalnya hanya coba-coba menggunakan pertamax. "Kok ternyata tarikannya saya merasa lebih enteng saat digas. Akhirnya keterusan menggunakan bahan bakar tidak bersubsidi ini," kata pengguna motor jenis matic ini. Melihat naiknya penggunaan pertamax di sejumlah wilayah di Indonesia, rupanya bukan hanya Evy Yulis dan Erni Agustin yang memilih bahan bakar dengan angka oktan atau "Research Octane Number" (RON) 92 itu. Di sebuah stasiun pengisan bahan bakar umum (SPBU) di Jember dilaporkan terjadi kenaikan hingga 100 persen dalam penggunaan pertamax setelah premium naik dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 per liter. Supervisor SPBU Jalan Gajahmada Jember Iwan Hendarto menjelaskan bahwa konsumsi pertamax di SPBU biasanya sebanyak 700 hingga 800 liter per hari. Namun, setelah ada kenaikan harga BBM bersubsidi meningkat menjadi 1.500 liter per harinya. Sejumlah daerah di Jawa Timur dilaporkan juga terjadi peningkatan penjualan pertamax. Konsumsi pertamax naik Sementara itu, PT Pertamina (Persero) pada awal Desember 2014 mencatat konsumsi bahan pertamax mengalami kenaikan hingga 139%. Hal itu disampaikan Wakil Presiden Senior Pemasaran dan Distribusi BBM Pertamina Suhartoko di Jakarta. Berdasarkan pantauan selama satu pekan, kata dia, menunjukkan konsumsi pertamax menjadi 5.200 kiloliter per hari dibandingkan sebelum kenaikan yang rata-rata 2.200 kiloliter per hari. Suhartoko memperkirakan konsumsi pertamax bakal terus meningkat lebih dari 5.200 kiloliter per hari ke depan. "Sebab, orang makin menikmati memakai pertamax," ujarnya. Lalu, benarkah penggunaan pertamax lebih hemat dan daya pacu kendaraan menjadi lebih bagus? Yusworo Setyo Winoto, guru teknik sepeda motor Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Bondowoso menjelaskannya secara perinci. Ia menjelaskan bahwa berbicara hemat dan tidak untuk penggunaan pertamax harus dilihat secara keseluruhan dan bukan sekadar membandingkan konsumsi BBM dengan premium habis berapa dan pertamax habis berapa. Menurut lulusan Fakultas Teknik Mesin Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang ini, yang pertama harus dilihat adalah kesesuaian kompresi atau tekanan sepeda motor. Untuk motor dengan kompresi 9:1, cukup menggunakan premium. Sementara motor dengan kompresi 9,2:1 "harus" menggunakan pertamax dan untuk kompresi 9,5:1 pertamax plus. "Jadi, harus mengerti kompresi dari motornya dahulu. Ini yang masyarakat sering tidak tahu karena memang tidak ada petunjuknya di kendaraan. Biasanya di brosur penjualan itu ada. Meskipun tidak ada keterangan di kendaraan, secara umum kendaraan keluaran terbaru, apalagi yang menggunakan sistem injeksi, bukan karburator, kompresinya sudah di atas 9,2:1. Jadi, seharusnya menggunakan pertamax," katanya. Guru yang pernah menjalani praktik perawatan sepeda motor di Yamaha Jember dan Honda Surabaya ini menjelaskan bahwa BBM jenis premium itu lebih mudah terbakar dibandingkan pertamax. Sebelum aliran premium sampai di busi, sudah terbakar sehingga tidak terjadi pembakaran secara sempurna atau masih bersisa. Sisa pembakaran itu akan menjadi kerak atau kotoran yang menempel di silinder atau masyarakat umum biasa menyebut blok sepeda motor. Selain itu, premiun juga mengandung zat timah atau timbel yang menyebabkan polusi udara, sementara pertamax tidak ada. Kelebihan lainnya, kata dia, pertamax saat diproduksi sudah ditambah dengan zat aditif yang berfungsi membersihkan bahan bakar. Pertamax yang dalam sistem pembakaran hanya terbakar saat bersentuhan dengan busi, menyebabkan pembakarannya sempurna. Apalagi, ditambah dengan zat pembersih itu. "Akibatnya, kalau kendaraan yang biasa menggunakan premium harus sering diservis karena blok atau silindernya lebih cepat kotor. Maka, kendaraan dengan konsumsi pertamax, lebih lama masa servisnya karena lebih bersih. Pemakaian suku cadangnya tentu lebih awet. Barangkali hitungan secara menyeluruh seperti ini yang kemudian pertamax dianggap lebih hemat," katanya. Mengenai motor dengan pembakaran sistem injeksi, Yusworo menjelaskan bahwa hal itu berbeda dengan karburator. Kalau karburator, pengaliran BBM agar terjadi pembakaran dengan pola disedot, sedangkan injeksi dengan cara disemprotkan. Pada kendaraan dengan sistem injeksi itu lubang untuk penyemprotan BBM atau biasa disebut noksel, sangat kecil, bahkan lebih kecil daripada rambut. Dengan lubang aliran yang sangat halus itu, jika menggunakan premium akan mudah kotor dan lama-kelamaan terjadi penyumbatan. Akibatnya, laju kendaraan juga mulai tersendat. "Membersihkan noksel itu tidak bisa bengkel sembarangan, harus di bengkel resmi. Selain itu, kalau injektornya itu harus diganti karena kelamaan menggunaan premium, harganya juga mahal. Banyak teman saya yang mengaku setelah sepeda motornya digunakan dua atau tiga tahun, sudah tidak nyaman. Setelah saya tanya, mereka menggunakan premium, padahal kompresi motornya di atas 9,2:1 atau yang menggunakan injeksi," katanya. Ditanya apakah penggunaan premium mengakibatkan kecepatan kendaraan bertambah atau tarikan saat digas menjadi lebih enteng, dia mengaku belum memiliki referensi mengenai hal itu. Dia hanya menduga, hal itu berkait dengan kebersihan mesin sehingga tarikan maupun laju kendaraan menjadi lebih nyaman.
Tidak lupa Yusworo juga mengingatkan bahwa ketentuan mengenai kompresi dan sistem injeksi yang lebih mendukung kinerja mesin dengan bahan bakar pertamax atau pertamax plus itu juga berlaku untuk mobil. Mobil-mobil keluaran terbaru juga memang sudah seharusnya menggunakan pertamax atau pertamax plus. Keinginan pemerintah agar masyarakat menggunakan BBM nonsubsidi tampaknya akan berjalan lancar. Hanya, perbedaan harga akibat biaya pengiriman pertamax dari satu daerah dengan daerah lainnya tidak menjadikan semua masyarakat lebih tertarik menggunakan pertamax. Seperti di Ambon yang harga pertamax mencapai Rp 14.500 per liter. Oleh karena itu, wajar jika penggunaan pertamax di Ambon belum ada peningkatan berarti sebagaimana yang terjadi di sejumlah daerah di Pulau Jawa. Karena itu, infrastruktur transportasi perlu diperbaiki. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia