Kepala BPHN: Tak ada niatan pelemahan KPK dalam RUU KUHP



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Rabu (30/5).

Kepala BPHN Kementerian hukum dan HAM sekaligus Ketua Tim Musyawarah KUHP Enny Nurbaningsih mengatakan, tidak ada sedikit pun Panja RUU KUHP dari pemerintah ingin mengambil kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Bahkan kami hanya menegaskan di dalam ketentuan penutup bahwa kewenangan dari lembaga yang di berikan kewenangan khusus misalnya BNPT, BNN, KPK itu tetap kemudian di akui dan di atur dalam ketentuan masing-masing,” jelasnya.

Enny menilai, yang membuat hal ini banyak diperbincangkan yakni adanya usulan terkait lamanya masa pidana. Di mana sebelumnya ketentuan pidana paling singkat dua tahun dan paling lama 20 tahun, di usulkan menjadi 15 tahun paling lama.

Menurutnya, Itu merupakan usulan yang bukan mengada-ngada, karena usulan itu berangkat dari konsep yang di bawa oleh KUHP ini. Konsep KUHP ini menentukan tentang pidana waktu tertentu dan pidana waktu tertentu itu paling lama 15 tahun.

“Kemudian 20 tahun itu digunakan untuk peberatan. Kalau kita langsung tetapkan 20 tahun itu adalah bentuk alternatif dari pidana seumur hidup atau pidana mati,” jelasnya.

Enny menegaskan kembali bahwa dalam pembahasan RUU KUHP sama sekali ada niatan pelemahan kewenangan KPK.  Terlebih ,anggota Panja RUU KUHP dari pemerintah terdiri dari anggota dari KPK.

“Tidak ada sedikit pun kalau kita bicara pelemahan itu berarti kita menganggap ada kewenangan yang di ambil, itu tidak ada sama sekali kewenangan KPK yang di ambil,” tegasnya.

Selain itu, dalam rapat yang di lakukan sejak pukul 15.45 WIB ini juga membahas terkait refomulasi itu salah satunya adalah menyangkut penegasan mengenai hukum yang hidup di masyarakat.

Yang kedua, adalah mengangkut soal pasal penghinaan terhadap presiden, yang diusulkan untuk merubah judul, yakni terkait dengan merendahkan martabat presiden dan wakil presiden.

“Sebenarnya kita tidak menghidupkan pasal yang sudah di matikan atau di batalkan oleh MK, dimana pasal zombie tidak ada sama sekali. Jadi kami menata ulang di situ sehingga pasal yang terkait penghinaan presiden dan wakilnya itu kami mengusulkan sebagai delik aduan,” tambahnya.

Lalu terkait dengan LGBT, di mana dalam upaya penghapusan diskriminasi, pemerintah mengusulkan pasal terkait LGBT di ganti menjadi pencabulan. Di mana pada pasal itu bisa dilakukan oleh yang sesama jenis atau yang jenis kelamin berbeda.

“Jadi kami buat secara umum yang namanya pasal pencabulan yang bisa diajukan oleh orang dengan jenis kelamin sama, atau berbeda,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto