KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Posisi kepemilikan investor asing di Surat Berharga Negara (SBN) Rupiah meningkat menjadi Rp 821,19 triliun per 5 April 2023. Jumlah tersebut terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) Rp 793 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Rp 28,18 triliun. Total kepemilikan asing di SBN Rupiah bertambah Rp 2,66 triliun (0,32%) dibanding akhir Maret 2023 yang sebesar Rp 818,53 triliun. Sementara itu, dibandingkan posisi 2 Januari 2023 yang sebesar Rp 762,91 triliun, kenaikan kepemilikan investor asing mencapai Rp 58,28 triliun (7, 64%). Meskipun secara nilai bertambah, persentase kepemilikan asing dibanding keseluruhan nilai SBN Rupiah yang dapat diperdagangkan tak jauh berbeda. Per 5 April 2023, persentase kepemilikan asing di SBN Rupiah sebesar 14,88%, sedangkan pada 2 Januari 2023 sebesar 14,37%.
Baca Juga: Begini Gambaran Target Ekonomi Makro Indonesia Tahun 2024 Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori Fajar Dwi Alfian mengatakan, naiknya kepemilikan investor asing di SBN Rupiah didorong oleh krisis perbankan di Amerika Serikat (AS) yang kemudian menjalar hingga ke Eropa. Kondisi ini membuat pelaku pasar sedikit khawatir terhadap sistem perbankan dan keuangan di AS dan Eropa. "Alhasil mereka cenderung mengalihkan dananya ke pasar SBN yang masih memiliki
real yield menarik, salah satunya Indonesia," ucap Fajar saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (9/4). Seiring berjalannya waktu, krisis perbankan dapat ditangani dengan baik oleh regulator. Namun, beberapa data ekonomi yang baru dirilis, seperti PMI manufaktur dan jasa AS menunjukkan tanda-tanda resesi global yang semakin terlihat nyata. Analis Fixed Income Sucorinvest Asset Management Alvaro Ihsan menambahkan, naiknya dana asing di SBN Indonesia didukung oleh kondisi perekonomian Indonesia yang baik. Inflasi inti cenderung mulai stabil serta dapat terkendali.
Baca Juga: Ekonom Ini Perkirakan Penerbitan SBN Kuartal II-2023 Bisa Capai Rp 300 Triliun Bank Indonesia pun menahan kenaikan suku bunga acuannya yang saat ini berada di angka 5,75%. Yield curve yang lebih mendatar juga membuat investor mulai memasuki pasar obligasi Indonesia karena memberikan yield yang lebih atraktif. Dari sisi global, permasalahan likuiditas perbankan di AS dan Eropa membuat investor mulai memburu obligasi ke negara berkembang. Indonesia menjadi pilihan karena memiliki ketahanan ekonomi yang baik. Fajar memperkirakan, kepemilikan investor asing di SBN Rupiah berpeluang terus meningkat sampai akhir tahun. Apalagi, tren kenaikan inflasi sudah sangat terbatas serta sinyal perlambatan ekonomi global semakin terlihat. Meskipun begitu, posisi dana asing masih rentan dengan dinamika ekonomi dan politik global, terutama terkait kebijakan suku bunga The Fed. "Saat ini proyeksi pasar dan The Fed ada perbedaan yang signifikan sehingga itu bisa menjadi faktor risiko volatilitas dana asing ke depannya," tutur Fajar. Alvaro pun menilai, kondisi perekonomian global belum menentu. The Fed masih perlu melakukan kebijakan moneter yang kontraktif agar inflasi AS di bawah target 2%. Di sisi lain, industri perbankan AS menunjukkan adanya risiko likuiditas.
Baca Juga: Harga Sukuk Ritel SR018 Turun di Bawah Level Acuan Apabila inflasi AS dapat menunjukkan penurunan yang berkelanjutan, The Fed dapat mulai menahan suku bunganya. "Hal ini merupakan sinyal yang baik bagi kelas aset obligasi sehingga dana asing pun dapat mulai memburu pasar obligasi Indonesia," ucap Alvaro.
Menurut keduanya, obligasi dengan tenor pendek hingga menengah, yakni 5-10 tahun merupakan favorit investor asing. Seri-seri benchmark yang cukup sering diburu asing adalah FR0095 dan FR0096. Seri tersebut menawarkan likuiditas yang tinggi, sesuai dengan preferensi investor asing yang mementingkan likuiditas terlebih dahulu. Namun, secara jangka panjang, Fajar melihat jika porsi kepemilikan asing terlalu banyak, maka bisa menimbulkan risiko bagi yield dan nilai tukar rupiah. Ia memperhitungkan, batas aman kepemilikan asing maksimal 20% dari total SBN Rupiah yang dapat diperdagangkan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli