Kepentingan bisnis di balik revisi proyek listrik



JAKARTA. Pemangkasan target mega proyek ketenagalistrikan dari 35.000 Megawatt (MW) menjadi 19.763 MW, yang pembangunannya berpusat di Pulau Jawa bukan tanpa alasan. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengaku, alasan ini karena permintaan di Jawa memang meningkat.

Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka mengatakan, pembangunan ketenagalistrikan 19.763 MW memang berpusat di Pulau Jawa dan Bali.

Itu, sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2016-2026. "Iya, atas pertimbangan bisnis. Kalau wilayah lain, bukan pertimbangan bisnis, tapi dari pertimbangan rasio elektrifikasi," terangnya kepada KONTAN, Rabu (16/11).


Alasan pertimbangan bisnis yang utama adalah, agar produksi listrik di Jawa-Bali meningkat. Mengingat supporting listrik di Jawa-Bali bukan hanya untuk rumah tangga, juga kebutuhan industri yang meningkat. "Jadi wajar, penyebaran penduduk banyak di sini dan industri sebagian besar juga ada di Jawa- Bali," ungkapnya.

Made menjelaskan, perincian pemangkasan proyek 35.000 MW menjadi 19.763 MW adalah Jawa Barat sebesar 6.118 MW, Jawa Tengah 12.759 MW dan Jawa Timur-Bali 1.902 MW. Adapun pulau lain seperti, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua juga tetap menjadi prioritas perusahaan lisrik negara itu.  

Hanya saja, yang realistis bisa selesai pada tahun 2019 kemungkinan memang lebih banyak di Pulau Jawa. "Jadi Jawa-Bali dan Sumatra ini nanti, neraca daya untuk  cadangan daya listrik atau reserve margin lebih dari 35%. Karena masuk dalam interkoneksi Jawa-Bali, dan Sumatera Jawa-Bali," klaimnya.

Dalam proyek 35.000 MW pulau lain yang masuk  RUPTL  di antaranya Kalimantan, dialokasikan sekitar 2.158 MW. dan Sumatra 9.642 MW. Lalu Sulawesi dan Nusa Tenggara itu kurang lebih 3.623 MW. Sementara Papua itu hanya 500 MW. "Maluku dan Papua kenapa kecil? karena sebaran penduduknya itu sedikit," terang Made.

Mengantisipasi adanya defisit di luar Jawa, Kepala Biro Komunikasi Informasi Pelayanan Publik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sujatmiko bilang, pihaknya tengah menyiapkan beleid baru, yakni Permen ESDM terkait  pembangunan 2.519 MW pembangkit di desa. "Bulan ini  aturannya sudah keluar," kata dia, di Kantor Kementerian ESDM, Rabu (16/11).

Dia berharap, dengan beleid ini, maka target elektrifikasi bisa dipercepat. Bahkan, dengan  beleid ini bisa dilakukan akselerasi percepatan penyaluran aliran listrik yang di lakukan oleh PLN maupun pihak swasta atau independent power producer (IPP). "Harus diakui kemampuan dalam menjangkau daerah-daerah pedalaman juga terbatas," ungkap dia kepada KONTAN, Rabu (16/11).

Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa  mengungkapkan, Undang-Undang (UU) No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan menyebutkan, setiap orang berhak mendapatkan energi listrik.

Dalam UU itu juga menyatakan, penyediaan listrik adalah tanggung jawab negara. Jadi penyediaan listrik di seluruh Indonesia adalah tanggungjawab pemerintah sebagai penyelenggara negara yang dilakukan oleh PLN. "Penyediaan listrik tidak boleh diskriminatif," ungkap dia ke KONTAN, Rabu (16/11).

Apalagi, menurut Fabby, janji Presiden Joko Widodo membangun dari pinggiran, artinya penyediaan listrik di luar Jawa Bali juga perlu mendapat prioritas sama dengan yang di Jawa. "Kalau pembangunan listrik di luar Jawa mandek, kesempatan  membangun terpangkas dan akan meningkatkan kesenjangan Jawa versus Luar Jawa," ungkap dia.

Dia juga tidak yakin, peraturan Menteri ESDM tentang listrik desa akan bisa terpenuhi dengan cepat. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini