Awalnya, tak pernah terpikirkan di benak Nyanyu Nur Komariah alias Adis untuk berbisnis songket. Padahal, sejak kecil ia sudah akrab dengan kain tradisional Palembang itu. Maklum, sang ibu, Maria Karim, pebisnis songket sejak 1998, dan pandai menenun sedari kecil.Barulah, setelah Adis mengikuti ajang pemilihan putra-putri daerah "Bujang Gadis Palembang", minatnya mulai muncul. Melalui ajang itu, ia semakin menghargai songket sebagai ciri khas tanah kelahirannya.Tak heran, setelah ibunya menghentikan bisnis songket pada 2006 karena faktor usia, ia mulai terpanggil mengikuti jejak sang ibu. Adis pun merintis bisnis songket sejak 2007. Lantaran ingin fokus, perempuan kelahiran Palembang, 29 tahun silam ini bahkan memutuskan berhenti dari pekerjaannya di salah satu bank BUMN. Dengan modal Rp 10 juta ia membuka usaha Rumah Songket Adis. Waktu itu, ia baru menghasilkan tiga songket. Sekadar gambaran, Adis tidak menenun sendiri. Songket ditenun oleh beberapa perajin yang menjadi karyawannya.Kemudian, Adis menyadari, ia tidak bisa hanya bertumpu pada usaha pembuatan kain songket semata. Pasar sudah sangat jenuh. Maka, ia menggali satu sisi yang masih jarang dilirik pengusaha songket lain, yaitu memproduksi pakaian dari bahan kain tradisional, yakni songket dan jumputan. “Saya percaya, kain khas Palembang bisa dilestarikan bukan hanya dari songket tapi sesuatu yang dipercantik dan nyaman dipakai,” tutur lulusan Sistem Informatika dari STMIK Palembang ini. Dengan memaksimalkan hobi menggambarnya, Adis mendesain sendiri semua baju yang diproduksi Rumah Songket Adis. Bahkan, ia membuat terobosan dengan membuat songket yang lentur dan lemas ketika dipakai. Tujuannya, supaya pemakai merasa lebih nyaman, sekaligus membedakan songket buatan pabrik dan tenunan.Pertama berbisnis, ia merogoh kocek Rp 3 juta untuk membuat website sebagai cara pemasaran. Strategi itu berhasil. Adis mendapat pelanggan dari berbagai daerah dan mancanegara. Ia memasarkan produknya melalui 20 reseller yang tersebar di beberapa kota.Usahanya kian berkembang. Ketika modal cukup, pada 2010, Adis menyewa ruko di Gedung Paragon, yang merupakan pusat kerajinan kain tradisional Palembang. Namun, pada 2012, Paragon ditutup, sehingga Adis pindah ke Pasar Wong Kito. Ia pun kehilangan beberapa pelanggan yang tidak tahu lokasi kios barunya.Adis tak patah semangat, berbagai cara dilakoni demi menggaet pelanggan baru. Ia rajin ikut pameran dan memasang iklan di harian lokal. Dari situ, bisnis Adis semakin berkembang. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Kepincut usaha songket dari ajang putri daerah (2)
Awalnya, tak pernah terpikirkan di benak Nyanyu Nur Komariah alias Adis untuk berbisnis songket. Padahal, sejak kecil ia sudah akrab dengan kain tradisional Palembang itu. Maklum, sang ibu, Maria Karim, pebisnis songket sejak 1998, dan pandai menenun sedari kecil.Barulah, setelah Adis mengikuti ajang pemilihan putra-putri daerah "Bujang Gadis Palembang", minatnya mulai muncul. Melalui ajang itu, ia semakin menghargai songket sebagai ciri khas tanah kelahirannya.Tak heran, setelah ibunya menghentikan bisnis songket pada 2006 karena faktor usia, ia mulai terpanggil mengikuti jejak sang ibu. Adis pun merintis bisnis songket sejak 2007. Lantaran ingin fokus, perempuan kelahiran Palembang, 29 tahun silam ini bahkan memutuskan berhenti dari pekerjaannya di salah satu bank BUMN. Dengan modal Rp 10 juta ia membuka usaha Rumah Songket Adis. Waktu itu, ia baru menghasilkan tiga songket. Sekadar gambaran, Adis tidak menenun sendiri. Songket ditenun oleh beberapa perajin yang menjadi karyawannya.Kemudian, Adis menyadari, ia tidak bisa hanya bertumpu pada usaha pembuatan kain songket semata. Pasar sudah sangat jenuh. Maka, ia menggali satu sisi yang masih jarang dilirik pengusaha songket lain, yaitu memproduksi pakaian dari bahan kain tradisional, yakni songket dan jumputan. “Saya percaya, kain khas Palembang bisa dilestarikan bukan hanya dari songket tapi sesuatu yang dipercantik dan nyaman dipakai,” tutur lulusan Sistem Informatika dari STMIK Palembang ini. Dengan memaksimalkan hobi menggambarnya, Adis mendesain sendiri semua baju yang diproduksi Rumah Songket Adis. Bahkan, ia membuat terobosan dengan membuat songket yang lentur dan lemas ketika dipakai. Tujuannya, supaya pemakai merasa lebih nyaman, sekaligus membedakan songket buatan pabrik dan tenunan.Pertama berbisnis, ia merogoh kocek Rp 3 juta untuk membuat website sebagai cara pemasaran. Strategi itu berhasil. Adis mendapat pelanggan dari berbagai daerah dan mancanegara. Ia memasarkan produknya melalui 20 reseller yang tersebar di beberapa kota.Usahanya kian berkembang. Ketika modal cukup, pada 2010, Adis menyewa ruko di Gedung Paragon, yang merupakan pusat kerajinan kain tradisional Palembang. Namun, pada 2012, Paragon ditutup, sehingga Adis pindah ke Pasar Wong Kito. Ia pun kehilangan beberapa pelanggan yang tidak tahu lokasi kios barunya.Adis tak patah semangat, berbagai cara dilakoni demi menggaet pelanggan baru. Ia rajin ikut pameran dan memasang iklan di harian lokal. Dari situ, bisnis Adis semakin berkembang. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News