Keputusan MK dapat gagalkan program deregulasi



JAKARTA. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.137/PUU-XIII/2015 yang mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri membatalkan peraturan daerah (perda) dinilai tidak sejalan dengan usaha pemerintah yang berupaya menggenjot kemudahan dalam berusaha.

Kepala Staf Presiden (KSP) Teten Masduki mengatakan, selama ini pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mendorong agar regulasi yang menghambat ekonomi dapat dengan cepat dipangkas.

Apalagi, sejak akhir tahun 2015 pemerintah tengah gencar mengeluarkan paket-paket kebijakan ekonomi. Aturan-aturan yang menghambat, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah terus diupayakan untuk di sederhanakan.


"Dalam konteks itu sebenarnya tidak sejalan dengan usaha kita untuk paket deregulasi. Spirit deregulasi ekonomi itu memangkas regulasi baik dari pusat atau daerah yang mempersulit bisnis," kata Teten, Jumat (7/4).

Teten bilang, bila regulasi yang menghambat ini tidak dengan cepat dapat diintervensi atau pemerintah pusat kehilangan kewenangan mengoreksi regulasi pemerintah daerah yang bertentangan dengan program-program pemerintah pusat, maka kebijakan deregulasi dapat gagal.

Padahal, Teten mengatakan dalam dua hingga tiga tahun mendatang, perekonomian Indonesia akan bergantung dari tiga hal. Selain konsumsi masyarakat dan belanja pemerintah, investasi menjadi penyumbang perekonomian dalam negeri.

Dengan keputusan MK ini, Pemerintah akan lebih mengedepankan pendekatan konsultatif kepada pemerintah dearah. "Kalau secara otoritatif tidak bisa paksa Pemda pangkas aturan yang merugikan investasi, maka pendekatannya harus konsultatif. Mengajak mereka punya komitmen," kata Teten.

Deputi Menko Bidang Industri dan Perdagangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edy Putra Irawady mengatakan, dengan keputusan ini yang dikhawatirkan adalah pada aturan-aturan yang baru muncul.

Atas keputusan ini, maka yang diperlu lakukan adalah membuat kreteria terhadap program-program yang dicanangkan pemerintah pusat. "Ada kreteria, Perda harus mengikuti kreteria ekonomi dari pemerintah pusat," kata Edy.

Terkait dengan kemudahan berbisnis atau easy of doing business (EODB), Edy bilang kebijakan ini tidak terlalu banyak berdampak. Pasalnya, kebijakan-kebijakan yang berkaitan tentang hal ini sudah dibereskan. Salah satunya ialah izin gangguan (HO) yang tidak tidak diperlukan lagi.

Kemudahan berbisnis juga tidak hanya dari sisi aturan dari pemerintah daerah saja, namun juga dari sisi cross border atau layanan lintas negara yang melibatkan INSW. Sekadar catatan, pada survei EODB 2015 Indonesia berada di peringkat 114 naik 8 peringkat dari posisi 122.

Pada survei EODB tahun 2016, Indonesia berada di peringkat 109. Pada tahun 2017 ini, Presiden Jokowi menargetkan Indonesia mencapai peringkat 40 dalam kemudahan berbisnis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie