Keputusan pembatalan pencabutan harga batubara DMO ke PLN sesuai konstitusi



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Presiden Joko Widodo akhirnya membatalkan rencana untuk mencabut ketentuan Domestic Market Obligation (DMO) harga Batubara. Keputusan itu diambil setelah digelar rapat terbatas (Ratas), yang dihadiri 17 pejabat negara di Istana Bogor, termasuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Direktur Utama PLN Sofyan Basyir, yang tidak hadir dalam Ratas sebelumnya.

DMO Batubara itu diatur berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 23K/30/MEM/2018 tentang penetapan minimal 25% produksi batu bara harus dijual ke PLN. Sedangkan Kepmen ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Batubara untuk sektor ketenagalistrikan dipatok maksimal US$70 per ton.

Sebelumnya dalam Ratas - yang dihadiri sejumlah Menteri, termasuk Menteri Koordinator Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dan Wakil Menteri ESDM Acandra Tahar, serta Ketua Umum Kadin Rosan P Roeslani dan Perwakilan Pengusaha Batu Bara -  memutuskan untuk mencabut Kepmen ESDM 23/30MEM/2018 tentang DMO harga Batubara. Rencana pembatalan DMO harga Batubara diputuskan dalam Ratas pada Selasa 31 Juli 2019, yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo.

Luhut berdalih bahwa pencabutan Kepmen ESDM 23/30MEM/2018 untuk memperbaiki neraca pembayaran sehingga dapat menguatkan rupiah. Dalih itu sesungguhnya mengada-ada. Pasalnya, ketentuan DMO Produksi Batubara hanya 25% dari total penjualan, sedangkan 75% masih tetap bisa diekspor dengan harga pasar. Dengan DMO 25%, penambahan devisa dari ekspor Batubara sangat tidak signifikan, bahkan diperkirakan tidak ada tambahan devisa sama sekali untuk mengurangi defisit nercara pembayaran. Kecuali total produksi Batubara sebesar 425 juta metric ton seluruhnya diekspor, maka akan ada tambahan devisa sebesar US$ 3,68. 

Konsekwensinya, PLN harus impor untuk memenuhi kebutuhan Batubara bagi pembangkit tenaga listrik sebesar 106 juta metric ton. Devisa yang digunakan PLN untuk impor Batubara itu diperkirakan lebih besar dari pada devisa yang diperoleh dari ekspor seluruh produksi Batubara. Dengan demikian tidak benar bahwa pencabutan DMO harga Batubara menghasilkan tambahan devisa, yang dapat memperbaiki neraca pembayaaran. 

Barangkali tidak adanya tambahan devisa itu menjadi salah satu pertimbangan bagi Joko Widodo untuk membatalkan rencana pencabutan DMO Batubara. Selain itu, keputusan pembatalan pencabutan DMO Batubara tersebut tampaknya lebih berpihak kepada rakyat sesuai dengan Nawacita. Kalau DMO Batubara dicabut, PLN, yang semester I/2018 sudah menanggung kerugian usaha sebesar Rp. 6,49 triliun, akan semakin berat beban biaya sehingga memperbesar kerugian PLN.

Kalau kerugian PLN itu dibiarkan berlarut-larut, maka tidak menutup kemungkinan PLN terancam bangkrut. Kalau PLN benar-benar bangkrut, Nusantara akan kembali gelap gulita. Pada saat itu, PLN bukan lagi sebagai “Perusahaan Listrik Negara”, tetapi berubah menjadi “Perusahaan Lilin Negara”. Untuk mencegah kebangkrutan itu, alternatifnya PLN terpaksa harus menaikkan tarif listrik, yang akan memicu inflasi. Tidak bisa dihindari, inflasi itu akan memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang akan memberatkan beban bagi rakyat miskin.

Kalau benar rakyat miskin harus menanggung beban kenaikan inflasi, yang dipicu oleh pembatalan DMO Batubara, sungguh sangat ironis. Batubara, yang merupakan hasil kekayaan alam yang seharusnya dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, justru menambah beban bagi rakyat miskin.

Berdasarkan pertimbangan itu, tidak ada tambahan devisa serta menambah beban PLN dan/atau rakyat miskin, maka keputusan Presiden Joko Widodo untuk membatalkan pencabutan DMO Batubara sudah sangat tepat, sesuai Nawacita dan konstitusi UUD 1945 pasa 33. Keputusan itu harus didukung dan dikawal oleh seluruh komponen bangsa. (Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini