Kios patung milik Made Wida berlokasi persis di pinggir Jalan Pakudui. Pagi menjelang siang, Made Wida sedang bersantai sembari menunggu pengunjung di pelataran kiosnya. Tepat di samping kios, terdapat
space kecil yang dijadikan
workshop mini olehnya. Sebuah patung setengah jadi berdiri di "ruang kerja" milik Made tersebut. Seperangkat peralatan mematung dan memahat berserakan di lantai. Di lantai yang masih beralaskan tanah, bertebaran pula serpihan dan potongan kayu. "Saya membuat patung setiap hari," tutur Made.
Di samping mengerjakan sendiri, Made dibantu oleh pekerja borongan. Dia bilang, biasanya para pekerja tersebut akan menyetor patung yang sudah jadi sekali dua minggu. Mede juga mengaku kerap menyewa jasa pengukir, untuk menghiasi patung-patung karyanya. Lain lagi yang diterapkan oleh Wayan Bagya yang 22 tahun terakhir mengelola workshop dan kios penjualan patung miliknya. Dalam membuat patung, Wayan tidak sendirian. Ia dibantu oleh dua adik serta sang ayah. "Memang ini usaha keluarga. Keahlian mematung ini sudah diajarkan turun-temurun," tutur Dia. Melakukan produksi bersama, Wayan jarang gunakan tenaga pengrajin dari luar. Ia bilang, selain bekerja borongan, banyak pula pengrajin yang minta upah harian. "Ongkos tukangnya sekarang mahal, Sehari bisa Rp 100.000-Rp 150.000. Sementara saya jual patungnya murah" tutur Wayan. Meski digaji dengan harga tinggi, nyatanya sekarang minat generasi muda Pakudui dalam belajar mematung mulai berkurang. Hal ini diungkapkan oleh Made Wida. Menurutnya, banyak pemuda sekarang lebih memilih melanjutkan sekolah tinggi. "Mereka maunya sekolah tinggi. Begitu tidak lulus, ya keluyuran saja. Mereka sama sekali tidak tertarik, tidak mau bisa mematung," jelasnya. Padahal Made bilang, modal peralatan untuk mematung tidak terlalu mahal. Jika ingin mematung, cukup menyiapkan pisau, gergaji dan peralatan pahat. "Paling sekarang untuk membeli alatnya itu sekitar Rp 5 juta," tutur Made. Made sendiri mengaku khawatir bila suatu saat kerajinan ini kehilangan generasi penerus. Bila itu terjadi, maka kerajinan warisan nenek moyang ini bisa punah. Selain pudarnya minat generasi muda, pedagang patung dan pemilik workshop juga mengeluhkan tingginya harga bahan baku kayu. Wayan mengungkapkan, untuk patung dengan tinggi mencapai 60 centimeter (cm), dibutuhkan bahan baku kayu kayu minimal dengan harga Rp 125.000. Kini, kayu-kayu yang digunakan untuk bahan baku patung tidak lagi dijual per batang.
Pedagang juga lebih banyak membeli per kubik. "Kalau saya membeli kayu, harganya pasti bergantung kubik. Kalau dulu beli enggak ada kubik, pasti satu batang," tutur Made. Beruntung, patung buatan Pakudui sudah dikenal. Alhasil, pedagang tak repot melakukan promosi produk. Mereka pun jarang mengikuti pameran barang-barang seni. "Kalau orang mencari patung garuda, sudah langsung tahu dia ke Pakudui," ucap Made dengan bangga.
(Selesai) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Johana K.