Keran ekspor gas bumi akan ditutup pemerintah



JAKARTA. Mari kita catat baik-baik janji pemerintah ini. Niat terbaru, pemerintah berniat menghentikan sementara (moratorium) ekspor gas, dan mengalihkannya untuk memenuhi kebutuhan gas alam di dalam negeri. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Evita Herawati Legowo, menyatakan, pemenuhan gas bagi industri di dalam negeri akan memberikan dampak berantai (multiplier effect) jauh lebih besar dibandingkan dengan penerimaan devisa negara. Itu sebabnya, "Moratorium merupakan rencana ke depan," ujar Evita, akhir pekan lalu.

Sayang, tekad pemerintah menghentikan sementara ekspor gas masih setengah hati. Sebab, moratorium ekspor gas itu hanya berlaku untuk kontrak jual beli gas yang baru. Penghentian sementara ekspor gas bumi tidak berlaku terhadap kontrak jual beli gas yang sudah berjalan. Alhasil, rencana ini tak langsung berefek segera terhadap pasokan gas di dalam negeri. Moratorium ini akan bermanfaat bila sejumlah blok gas raksasa, seperti Blok East Natuna, Lapangan Abadi di Blok Masella, atau Kilang Tangguh Train III beroperasi. Seperti diketahui East Natuna adalah lapangan gas terbesar di Asia Timur dengan potensi sebesar 222 triliun kaki kubik (tcf) dan bisa disedot hingga 1 miliar kaki kubik per hari. Blok ini baru mulai berproduksi pada 2021-2022. Sedangkan Lapangan Abadi dikelola Inpex Corporation, punya cadangan 6,05 tcf. Ladang gas ini beroperasi pada tahun 2017. Sementara Lapangan Tangguh punya cadangan tambahan sebesar 700 juta kaki kubik per hari. Alfred Manayang, Juru Bicara Inpex, menyatakan tidak mempersoalkan rencana moratorium ekspor gas. Menurut dia, Inpex akan mematuhi aturan pemerintah. Namun, niat pemerintah ini masih lonjong. Sebab, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) berseberangan pendapat dengan Kementerian ESDM. Regulator industri gas sektor hulu masih memilih paradigma lama, bahwa gas adalah sumber utama penerimaan negara. "Penerimaan negara dari migas masih 25%-30%. Jadi kalau ekspor dihentikan, penerimaan hilang sebesar itu," ujar Gde Pradnyana, Juru Bicara BP Migas. Catatan BP Migas, tahun lalu, penerimaan negara dari migas US$ 34,4 miliar atau naik 29,8% dibandingkan dengan realisasi 2010 sebesar US$ 26,5 miliar. Bahkan untuk memacu penerimaan negara ini, BP Migas menggelar LNG Forum di Bali bersama para pembeli gas potensial dari luar negeri, pekan depan. Kalau toh diterapkan, moratorium ekspor gas ini hanya berlaku bagi gas jatah negera. Sementara gas yang menjadi jatah kontraktor migas (KKKS), kata Gde, tak bisa diutak-atik. "Karena kita menganut sistem bagi hasil, bagian mereka tidak bisa kena moratorium," tandas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Barratut Taqiyyah Rafie