Kerawanan Perawatan Pesawat



KONTAN.CO.ID - Kecelakaan pesawat SJ-182 yang dioperasikan oleh Sriwijaya Air merupakan indikasi adanya kerawanan dalam industri penerbangan di tanah air. Pendapatan maskapai yang terus tergerus akibat pandemi Covid-19 tidak mampu lagi menutup biaya operasional, ongkos perawatan dan pembayaran utang.

Kondisinya semakin riskan jika maskapai mengoperasikan pesawat yang umurnya tua. Karena biaya perawatan dan suku cadang lebih mahal dibandingkan dengan pesawat baru. Selain itu untuk memperoleh komponen atau suku cadang pesawat tua juga tidak mudah dan penuh masalah jika memperoleh di pasar gelap.

Secara teori tidak ada pengaruh yang signifikan antara pesawat tua dengan yang baru. Tapi kompleksitas masalah di lapangan dan ekosistem bengkel perawatan pesawat terbang di tanah air yang belum menggembirakan karena kapabilitasnya sangat terbatas, menyebabkan maskapai kesulitan melakukan perawatan pesawat sebaik mungkin. Terutama pesawat yang sudah berumur tua.

Manajemen Sriwijaya Air juga pernah dililit utang untuk perawatan pesawat di PT GMF AeroAsia. Sebagai catatan pesawat SJ-182 yang naas adalah jenis Boeing 737-500 berumur 26,7 tahun. Kondisi SJ-182 tentu membutuhkan perawatan yang sangat intens. Kementerian Perhubungan mestinya membedah riwayat perawatan SJ-182 paling tidak setahun terakhir. Ini penting untuk mengantisipasi kondisi buruk agar kasus serupa tidak berulang kembali.

Apalagi perusahaan jasa perawatan atau Maintenance Repair and Overhaul (MRO) saat ini juga dilanda krisis dan terjadi pengurangan karyawan. Seperti di PT GMF. Perawatan dan inspeksi membutuhkan biaya mahal. Dalam kondisi pandemi Covid-19 biayanya bisa jauh lebih mahal karena pasokan material dan suku cadang yang juga seret.

Selama ini bisnis MRO terbilang sangat prospektif. Untuk aktivitas perawatan medium sekelas Boeing 737 maskapai mesti mengeluarkan biaya US$ 500.000. Untuk perawatan total atau overhaul bisa US$ 2 juta-US$ 3 juta.

Celakanya maskapai di tanah air mengalami kendala keterbatasan kapabilitas yang dimiliki MRO dalam negeri, sehingga terpaksa melakukan perawatan ke luar negeri. Kapasitas MRO lokal ada beberapa kasus yang belum bisa memenuhi standar perawatan pesawat jenis tertentu.

Apalagi tanpa sertifikasi dari Federal Aviation Administration (FAA) dan International Aviation Safety Assessments (IASA), MRO atau bengkel pesawat di tanah air tidak bisa melakukan perawat level medium hingga menyeluruh untuk pesawat tertentu.

Sistem navigasi

Sistem navigasi pesawat tua seperti SJ-182 juga mesti lebih sering dirawat karena sensitif dan bisa berakibat fatal jika ditunda. Ada perbedaan yang paling mencolok yakni pada radar cuaca di kokpit. Untuk pesawat Boeing 737 seri 300 dan 400 menggunakan sistem otomatis. Tetapi 737-500 masih manual untuk membaca cuaca.

Jadi agar pilot tahu apakah awan di lintasan pesawat itu aktif atau tidak maka sudut radar harus presisi. Untuk seri 300 dan 400 sudah otomatis diketahui kondisinya. Untuk seri 500 agar presisi mesti sering dikalibrasi sensornya. Perawatan kalibrasi ini juga sering mengalami kendala.

Perawatan mesin pesawat berikut komponen penunjangnya dikerjakan berdasar interval waktu pelaksanaan. Perawatan pesawat dikelompokkan menjadi perawatan rutin (scheduled maintenance) dan non rutin (non-scheduled maintenance).

Untuk perawatan rutin, interval yang sudah ditetapkan harus diulang. Sementara itu, perawatan non rutin akan dilakukan berdasarkan temuan yang didapat saat pengoperasian pesawat.

Perawatan rutin terhadap pesawat sekelas Boeing 737 dibagi menjadi perawatan harian yang dilakukan pada saat sebelum terbang atau before departure check (BDC), kemudian saat singgah di suatu bandara atau transit check, serta pemeriksaan harian atau daily inspection atau 24 hours check. Sedangkan perawatan berkala dilakukan dalam interval tertentu sesuai dengan maintenance schedule inspection. Contoh perawatan berkala dan nomenklatur perawatan,

Aktivitas perawatan pesawat terbang tidak bisa lepas dari pembelian suku cadang atau komponen. Sayangnya ada praktik buruk yang terjadi di dunia penerbangan terkait dengan suku cadang untuk pesawat berumur tua.

Di pasar gelap ada pihak yang memoles suku cadang yang tidak laik lagi digunakan direkondisi, diperbarui dengan menyertakan dokumen yang dipalsukan. Dokumen yang dipalsukan itu antara lain COC (certificate of confirm), ARC (authorized release confirm), serta CoO (certificate of origin) yang dikeluarkan pabrik suku cadang yang sudah mendapat izin dari otoritas terkait.

Kasus tersebut perlu dicegah. Mestinya maskapai dan MRO harus menghindari suku cadang palsu. Prosedur pengadaan suku cadang pesawat komersial perlu diawasi secara ketat oleh Kemenhub. Otoritas kelaikan pesawat terbang jangan mudah melakukan kompromi terkait suku cadang yang tidak asli.

Selama ini MRO sering mengalami masalah kurangnya dukungan suku cadang yang tepat jenis, jumlah, mutu dan waktu, sementara di lain pihak kebutuhan suku cadang setiap waktu semakin meningkat, sehingga mengakibatkan tingkat kesiapan operasional pesawat milik maskapai menurun.

Indonesia masih kekurangan kapasitas pemeliharaan tingkat berat (overhaul) pesawat terbang, engine, propeller dan komponen avionic beserta komponen pendukung lainnya. Selain itu juga kurang cepatnya pengadaan suku cadang berupa komponen (part), removable item, bit and pieces dan expendable item.

Komponen merupakan bagian dari alat utama merupakan gabungan dari beberapa bagian dan mempunyai fungsi tertentu, walaupun tidak final (fungsinya) seperti alat utama yang berdiri sendiri. Komponen yang diklasifikasikan sebagai barang yang dapat diperbaiki dan diperoleh kembali ke dalam pembekalan, atau barang yang dapat diperoleh kembali (oleh pembekalan) karena pemeliharaan, disebut dengan Maintenance Supply Item (MSI).

Pesawat terbang militer maupun sipil menggunakan jasa dalam menyiapkan dan memelihara pesawat terbangnya agar siap operasional.

Disamping itu, MRO juga selalu bekerjasama dan menggandeng vendors dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan suku cadang agar kebutuhannya dapat terdukung tepat jenis, jenis, jumlah, mutu dan waktu dengan menggunakan beberapa metode pengadaan yang salah satunya diantaranya adalah metode rotable pools.

Pada vendors inilah segala kemungkinan dan praktik curang bisa saja terjadi. Bisa juga terjadi fraud atau penyimpangan lainn.

Dimasa mendatang perlu manajemen suku cadang yang lebih tangguh sehingga suku cadang yang dibutuhkan tepat jumlah, mutu dan waktu. Penggunaan metode rotable pools akan menyediakan dukungan suku cadang dalam minimum stock level dan siap digunakan setiap waktu.

Penulis : Totok Siswantara

Pengkaji Transformasi Teknologi dan Industri, Anggota Indonesia Aeronautical Engineering

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti