Satu tahapan penting dalam mengawasi sistem keuangan adalah identifikasi terhadap kejutan (
shock) dan kerentanan (
vulnerabilities) yang melekat pada sistem keuangan. Kedua jargon ini saling memiliki keterkaitan dan dapat berinteraksi satu sama lain. Bila terjadi kejutan dan saat itu kondisi sistem keuangan memiliki kerentanan, kerentanan itu akan mengamplifikasi dampak syok, sehingga memperburuk kondisi sistem keuangan yang pada akhirnya dapat berujung pada krisis. Lalu, adakah kerentanan di sistem keuangan kita? Menurut hasil Kajian Stabilitas Keuangan (Maret 2019) yang dilakukan Bank Indonesia (BI), saat ini, sistem keuangan domestik menghadapi tiga sumber kerentanan utama. Pertama, peningkatan utang luar negeri (ULN) terutama dari korporasi. Sebagai gambaran, pada 2018, ULN korporasi non keuangan tumbuh cukup tinggi mencapai 11,6% year on year (yoy) menjadi Rp 4.699,82 triliun. Sedangkan ULN korporasi keuangan tumbuh 18,20% yoy menjadi Rp 774,19 triliun.
Bagi korporasi nonkeuangan, peningkatan ULN tersebut sebenarnya tidak lepas dari adanya kebutuhan pendanaan untuk mengerjakan berbagai proyek infrastruktur pemerintah dan investasi swasta. Sementara, bagi perbankan, peningkatan ULN sebagian ditujukan untuk penyaluran kredit dan sebagian lagi untuk pemenuhan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait penguatan permodalan (ULN dalam bentuk obligasi subordinasi yang dapat dikonversi menjadi saham) dan kewajiban rasio pembiayaan stabil bersih (
Net Stable Funding Ratio). Cukup tingginya pertumbuhan ULN tersebut juga tidak lepas dari relatif murahnya suku bunga ULN ketimbang suku bunga utang domestik. Sudah barang tentu, peningkatan ULN menimbulkan kerentanan bagi korporasi dan akan memicu masalah bila terjadi syok yang berupa peningkatan volatilitas nilai tukar Rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Krisis keuangan pada 1997/1998 menjadi catatan buruk yang menunjukkan betapa peningkatan volatilitas nilai tukar rupiah telah meluluhlantakkan banyak korporasi non keuangan Indonesia, akibat tingginya ULN yang ternyata lebih banyak berjangka waktu pendek dan tidak ditopang oleh lindung nilai (hedging) yang memadai. Namun, kondisi saat ini jelas berbeda dan lebih baik. Ada ketentuan BI mengenai prinsip kehati-hatian dalam menarik ULN, termasuk telah memberlakukan kewajiban lindung nilai atas ULN bagi korporasi non keuangan. Sementara dari sisi maturitas, ULN korporasi didominasi ULN yang berjangka waktu panjang. Alhasil, korporasi menghadapi risiko repricing yang relatif rendah. Kedua, perlambatan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) alias retail funding. Di perbankan, penghimpunan DPK masih dominan sebagai sumber dana untuk penyaluran kredit. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, pertumbuhan secara tahunan terus saja melambat (2018 tumbuh 6,5%, lebih rendah dari 2017 yang tumbuh 9,4%). Di sisi lain, penyaluran kredit masih cukup kencang. Kondisi ini akhirnya mendorong peningkatan tekanan likuiditas akibat alat likuid yang ada tergerus untuk membiayai kredit. Kajian BI menyebutkan ada banyak faktor yang menyebabkan pertumbuhan DPK melambat. Diantaranya, penabung/deposan perorangan yang mendominasi pangsa DPK di perbankan mengalami perubahan pola konsumsi. Dalam arti, tambahan pendapatan yang diterima lebih banyak digunakan untuk konsumsi ketimbang disimpan di perbankan. Selain itu, makin maraknya alternatif investasi yang terjangkau seperti Surat Berharga Negara (SBN) ritel yang memberikan imbas hasil yang lumayan tinggi dan meningkatnya penggunaan uang elektronik yang memberikan kemudahan dan tawaran menarik seperti diskon belanja sepertinya juga turut menghambat pertumbuhan DPK. Sementara bagi korporasi, kebutuhan ekspansi dengan menggunakan dana sendiri serta nilai tukar rupiah yang melemah terhadap rolar AS menyebabkan korporasi menarik lebih banyak dananya dari perbankan. Menghadapi kondisi ini, perbankan mencari alternatif sumber pendanaan non DPK melalui
wholesale funding, seperti menerbitkan surat-surat berharga (obligasi,
Medium Term Notes/MTN), mengambil pinjaman dari pihak lain, termasuk ULN, dan melakukan tambahan modal atau menarik modal pinjaman. Dengan beragam usaha itu, perbankan masih mampu membiayai ekspansi usaha korporasi tersebut. Peningkatan jenis pendanaan ini terlihat di 2018, yakni pertumbuhan wholesale funding mencapai 11,75% yoy, naik ketimbang 2017 yang tumbuh 8,24% yoy. Ketiga, adanya kesenjangan negatif antara tabungan dengan investasi dan belum dalamnya pasar keuangan domestik. Kesenjangan yang negatif ini kemudian akhirnya ditutupi oleh aliran investasi portofolio. Namun, masalahnya investor portofolio itu sebagian besar merupakan investor asing. Hal ini menciptakan kerentanan di pasar keuangan domestik dan dapat menimbulkan gejolak di pasar keuangan saat investor asing tersebut pulang kandang (sudden reversal). Kita pernah mengalami gejolak itu saat terjadi krisis keuangan global 2008/2009 dan Taper Tantrum 2013 akibat investor asing keluar secara berjamaah dari pasar keuangan domestik. Derasnya aliran dana asing di portofolio aset domestik, terutama pada SBN dan saham, didorong oleh menariknya imbal hasil yang diberikan serta mereka masih percaya dengan perekonomian Indonesia. Imbasnya, pangsa kepemilikan asing di SBN telah mencapai 37,71% dan saham 52,17% pada 2018. Sementara itu, pasar keuangan yang belum dalam berpotensi mengamplifikasi dampak kerentanan tersebut. Jumlah instrumen yang masih terbatas, frekuensi transaksi yang masih rendah dan volume transaksi yang belum besar merupakan beberapa faktor yang menyebabkan pasar keuangan domestik masih dangkal. Upaya memperdalam pasar keuangan memang terus dilakukan oleh otoritas. Pembentukan Forum Koordinasi Pembiayaan Pembangunan melalui Pasar Keuangan (FK-PPPK) yang diinisiasi BI bersama OJK dan Kemkeu.
Bagi BI sendiri, upaya mendalamkan pasar keuangan terus dilakukan, diantaranya dengan melakukan pengayaan berbagai instrumen hedging di pasar valas seperti Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), Call Spread Option (CSO) dan Cross Currency Swap (CCS). Selain itu, BI juga berupaya mengkredibelkan acuan suku bunga di pasar uang dengan memperkenalkan IndONIA (Indonesia Overnight Index Average) yang menggantikan Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR). Meskipun sistem keuangan Indonesia menghadapi berbagai kerentanan tersebut di atas, kondisi perbankan yang dominan di sistem keuangan masih cukup kuat dalam menghadapi berbagai risiko seperti risiko pasar, likuiditas dan kredit. Selain pengelolaan risiko yang tetap terjaga, masih kuatnya kondisi perbankan juga ditopang ketahanan likuiditas dan permodalan yang memadai. Hal ini tidak lepas dari respon kebijakan serta koordinasi dan sinergi dari berbagai pihak.♦
Ardhienus Analis Senior di Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi