Kereta batubara menanti pinjaman



JAKARTA. PT Bukit Asam Transpacific Railway (BATR) berharap mengantongi kesepakatan kredit di akhir tahun. Perusahaan yang akan mengelola kereta api pengangkut batubara, pelabuhan serta logistik itu, sudah mengajukan permohonan kredit ekspor ke empat bank China.

Para kandidat kreditur adalah Bank of China, China Development Bank, China Exim dan ICBC. "Mereka sedang due dilligence," ujar Rudiantara, Chief Executive Officer (CEO) BATR. Pinjaman bank diandalkan untuk menutup 70%-85% dari total kebutuhan dana BATR, yaitu US$ 1,8 miliar.

Sisa kebutuhan dana akan ditutup pemegang saham BATR sesuai porsi kepemilikan. Saat ini, 90% saham BATR berada di tangan Rajawali Asia Resources (RAR), yang merupakan anak perusahaan Rajawali Grup. Sisanya, 10%, berada di tangan PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk, yang memiliki kode saham PTBA.


Sebagian besar anggaran, yaitu US$ 1,3 miliar, dialokasi untuk engineering, procurement and construction (EPC) infrastruktur kereta api yang terbentang dari Bangko Tengah, Tanjung Enim, Sumatra Selatan hingga Srengsem, Lampung.

Hingga kini, BATR sudah bergerak memroses izin serta pembebasan lahan. Kementerian Perhubungan telah menerbitkan izin bagi BATR untuk mengoperasikan kereta api berikut infrastrukturnya. BATR juga sudah mengantongi izin dari dua pemerintah provinsi serta tujuh pemerintah kabupaten, yang wilayahnya dilalui proyek kereta batubara.

BATR yang dibentuk tahun 2008 itu juga telah melakukan ujicoba pembebasan wilayah sepanjang 1 kilometer di Lampung. Lebar minimal lahan yang dibebaskan adalah 100 meter.

Perubahan di Bangko

Calon kreditur BATR kini menanti skema pengelolaan tambang Bangko. Maklumlah, tambang Bangko dan proyek transportasi merupakan satu paket yang tak terpisahkan. Tambang Bangko yang diestimasi memiliki cadangan batubara hingga 500 juta ton, tidak punya nilai ekonomis tanpa sarana pengangkutan. Di sisi lain, kereta api berikut infrastrukturnya akan mubazir, tanpa tambang Bangko.

Mengutip hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)-nya di tahun 2008, PTBA berniat mengelola tambang Bangko berikut sarana transportasinya dengan membentuk usaha patungan. Mitra yang digandeng PTBA sejak tahun lalu adalah RAR.

PTBA dan RAR bermitra di BATR yang mengelola infrastruktur serta di PT Bukit Asam Banko (BAB), pengelola tambang. Porsi kepemilikan saham di BAB adalah 65% untuk PTBA dan 35% untuk RAR.

Dalam skema awal, BAB yang akan menambang sekaligus menjual batubara ke BATR. Namun model bisnis itu belakangan terganjal Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. BAB tidak bisa mengelola Bangko karena tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), seperti ketentuan UU Nomor 4. Pemilik IUP Bangko adalah PTBA.

Masa depan BAB yang suram bisa menjadi alasan kreditur meragukan kelayakan proyek kereta milik BATR. Achmad Sudarto, Corporate Secretary PTBA, memastikan kendati ada perubahan dalam pengelolaan tambang di Bangko, BATR tetap kebagian jatah batubara.

Bagaimana mekanisme penjualan batubara dari PTBA sebagai pengelola tambang ke BAB ataupun BATR, Achmad masih enggan bercerita. "Kami masih membahas secara internal," ujar dia.

BATR berharap skema baru itu tuntas, agar due dilligence calon kreditur segera tuntas. Jika gagal financial closing di akhir tahun, BATR menghadapi dua ancaman. "Selain nilai proyek bisa melonjak, kemungkinan mendapat pendanaan juga berbeda," ujar Rudiantara.

Mengutip laporan riset Mandiri Sekuritas, pengoperasian tambang di Bangko berikut infrastruktur kereta api bisa meningkatkan laba bersih PTBA hingga empat kali lipat. Andai berhasil memperoleh pinjaman di akhir 2011, BATR menargetkan kereta api beroperasi di awal 2015.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie