Kerjasama dengan China, BI jaga stabilitas rupiah



Jakarta. Pemerintah memperpanjang billateral currency swap agreement (BCSA) dengan China hingga 2019. Perpanjangan ini diharapkan mampu meningkatkan ketahanan Indonesia menghadapi potensi gejolak eksternal yang mendorong capital outflow.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, kerjasama BCSA dengan China sudah dilakukan sejak 2013. Kerjasama itu akan selesai pada akhir tahun ini dan rencananya akan di perpanjangan tiga tahun ke depan sampai 2019.

"Perpanjangan dilakukan karena kedua negara masih membutuhkan kerjasama tersebut. Kami akan segera melakukan pembicaraan," kata Agus, kepada KONTAN, Rabu (7/9).


Sebab itu Agus berjanji akan segera melakukan pembicaraan dengan Gubernur People's Bank of China (PBoC). Rencananya, pembicaraan kerjasama ini akan dilakukan disela-sela pertemuan tahunan AMF World Bank yang diselenggarakan di Washington DC. 

Pertemuan AMF World Bank ialah pertemuan tahunan Gubernur Bank Sentral di dunia. "Pertemuannya dilakukan Oktober," ungkapnya.

Buffer agar rupiah stabil

Kesepakatan perpanjangan BCSA periode 2016-2019 sebenarnya sudah tercapai ketika  Presiden Joko Widodo bertandang ke China  pada pekan lalu. Dalam kesepakatan itu, nilai BCSA disepakati sebesar 130 miliar yuan. Jumlah itu naik dibandingkan kesepakatan sebelumnya sebesar 100 miliar yuan.

Kenaikan BCSA diharapkan akan mampu memperkuat cadangan devisa. Selain itu perjanjian ini dimaksudkan untuk meningkatkan aktivitas perdagangan antar kedua negara yang memakai mata uang Renminbi. Apalagi selama ini cadangan devisa Indonesia memang lebih banyak memakai mata uang dollar AS.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, perpanjangan kesepakatan BCSA dengan China akan memperkuat kualitas cadangan devisa Indonesia ke depan. Terutama apabila ada suatu kondisi di mana gejolak eksternal mendorong capital outflow yang signifikan.

Apalagi saat ini isu kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed) makin santer. "BCSA dapat digunakan sebagai cadangan atau buffer sehingga nilai tukar rupiah menjadi lebih stabil," kata Josua. Hingga akhir 2016, Josua memprediksi rupiah stabil di kisaran Rp 13.000-13.300 per dollar AS.

Selain dengan China, tahun lalu BI juga sudah menandatangani kerja sama BCSA dengan Bank Sentral Australia atau Reserve Bank of Australia senilai AU$ 10 miliar atau Rp 100 triliun.

Perjanjian itu resmi berlaku mulai 15 Desember 2015 hingga tiga tahun ke depan dan dapat diperpanjang atas kesepakatan kedua negara. Selain itu, BI dan Korea Selatan juga telah masih memiliki BCSA senilai 10,7 triliun won atau ekuivalen US$ 10 miliar.                    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto