KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dampak perubahan iklim yang memicu bencana alam dan hilirisasi tambang yang abai terhadap lingkungan menjadi ancaman serius bagi Indonesia. Ini bisa menimbulkan kerugian ekonomi dan ekologi tak sangat besar. Merujuk studi USAID 2020, kerugian akibat perubahan iklim di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 132 triliun atau US$ 1,4 miliar pada 2050. Adapun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sebanyak 5.400 kejadian bencana alam terjadi sepanjang 2023. Angka tersebut mengalami kenaikan 52% jika dibandingkan pada tahun 2022. Berdasarkan data Center for Strategic and International Studies (CSIS), dampak kerugian bencana alam di Indonesia rata-rata mencapai Rp 1,06 triliun per tahun. Total biaya mitigasi perubahan iklim mencapai Rp 4 triliun per tahun. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia pun berpotensi merosot 19% ketika suhu bumi naik hingga 4 derajat celsius.
Mirisnya, sebesar 25% dari perekonomian Indonesia saat ini mempunyai intensitas jejak karbon yang tinggi, yakni pertambangan 14,07%, pertanian 9,22%, perikanan 2,58%, dan kehutanan 0,6%. Yang mana lebih dari 50% ekspor utama Indonesia berbasis sumber daya alam. Salah satu sektor yang mendapat perhatian serius dari Jaringan Tambang (Jatam) terkait dampak ancaman becana alam adalah maraknya proyek panas bumi dan penambangan nikel. Alfarhat Kasman, Juru Kampanye Jatam menyebutkan, upaya pemerintah Indonesia yang terus menggenjot pengembangan sumber energi dari panas bumi menjadi petaka bagi warga dan lingkungan. Dari catatan Jatam, pemerintah telah menghasilkan peta 356 prospek tambang panas-bumi di jalur Cincin Api Indonesia yang justru rentan terhadap risiko kebencanaan, sementara 64 di antaranya sedang dalam proses penambangan. "Tak pelak, terjadi bencana banjir berulang ini dipicu oleh penggusuran hutan yang begitu masif," katanya kepada KONTAN, Selasa (13/8).
Baca Juga: Perubahan Iklim Semakim Terasa, Perlu Lebih Banyak Menggandeng Anak Muda Atas dasar itu, Jatam menuntut pemerintah agar segera menghentikan dulu eksplorasi dan operasi dari proyek-proyek penambangan yang tengah berjalan. "Kami juga menuntut Kementerian ESDM agar segera lakukan evaluasi menyeluruh, atas seluruh kejahatan industri tambang panas bumi, serta membuka diri untuk audit publik menyeluruh serta penegakan hukum termasuk tanggung-jawab pemulihan kerusakan," terangnya. Alfarhat bilang, penambangan dan ekstraksi panas-bumi telah puluhan kali terbukti menyebabkan gempa picuan, bukan pada tingkat yang bisa diabaikan bahayanya, tetapi bahkan sampai skala kegempaan. Jatam juga telah memperingatkan lewat laporan hasil riset, dan respons cepat atas kejadian gempa, untuk mempertanyakan kaitan di antara kejadian-kejadian gempa di wilayah di sekitar proyek tambang panas-bumi kepada otoritas kegempaan dan Kementerian ESDM. Kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi juga dipicu aktivitas tambang nikel seperti yang terjadi di Halmahera, Maluku Utara. Global Forest Watch menyebutkan, sejak 2021 hingga 2023, Halmahera Tengah kehilangan 27,9 kilo hektare (kha) tutupan pohon, setara dengan penurunan 13% tutupan pohon sejak tahun 2000, dan melepaskan emisi gas rumah kaca sebesar 22.4 Mt CO?e. Kehilangan tutupan pohon yang dominan terjadi pada kawasan konsesi penambangan nikel tersebut, menyebabkan berbagai degradasi sumber daya air tawar dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi. Dalam laporan terbaru Jatam, wilayah Halmahera Tengah dengan luas 227.683 hektar (Ha) telah dikepung 23 izin nikel, 4 izin di antaranya melintasi batas administratif Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Adapun total luas izin yang dikuasai perusahaan nikel mencapai 95.736,56 Ha atau sekitar 42% dari luas Halmahera Tengah dengan luas bukaan lahan untuk tambang mencapai 21.098,24 Ha, yang sebagian besar berada di wilayah hutan dan merupakan hulu sungai besar di Halmahera.
Alfarhat menyebutkan, hutan yang dimusnahkan sebagian besar berada di wilayah hulu-hulu sungai besar, seperti Sungai Kobe, sehingga menghadirkan berbagai situasi genting akibat bencana hidrometeorologi. "Penggusuran hutan tersebut berjalan seiring dengan perampasan ruang hidup bagi masyarakat Halmahera," jelasnya. Yang terang, hutan yang menjadi sumber pangan dan obat-obatan bagi masyarakat, kini berganti menjadi lubang tambang raksasa. Begitu pula dengan lahan pertanian dan perkebunan yang menjadi sumber pangan utama untuk seluruh masyarakat Halmahera, yang kolaps akibat aktivitas tambang nikel. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Putri Werdiningsih