JAKARTA. Kejaksaan Agung mengaku sudah memperoleh hasil penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi proyek Bioremediasi PT Chevron Pacifik Indonesia. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Setia Untung Arimuladi, berdasarkan laporan dari auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), nilai kerugian kasus Chevron mencapai US$ 9,9 juta, atau setara dengan Rp 100 miliar.Nilai kerugian negara ini ternyata lebih kecil dari dugaan semula. Diawal penyelidikan yang dilakukan, Kejaksaan menduga kerugian negara yang ditimbulkan kasus ini mencapai Rp 200 miliar atau US$ 23 juta."Setelah diketahuinya kerugian negara ini, kami harapkan kasus ini bisa segera di limpahkan ke penuntutan," kata Setia, Rabu (14/11). Setia menjelaskan, proses penyidikan kasus ini sudah tuntas. Saat ini penyidik sedang merampungkan berkas para tersangkanya.Kuasa hukum Chevron Maqdir Ismail mengaku kaget adanya kerugian negara dalam kasus ini. Menurutnya, tidak mungkin ada kerugian dalam kasus Bioremediasi yang dilakukan oleh Chevron bekerja sama dengan BP Migas tersebut.Adapun BP Migas dalam kontrak ini menurut Maqdir sebagai wakil dari pemerintah. Dengan kondisi BP Migas yang dinyatakan Ilegal oleh Mahkamah Konstitusi, selanjutnya peran dan tanggung jawabnya seharusnya diwakilkan kepada pemerintah."Kontrak kerja sama yang dibuat itu dalam durasi waktu yang panjang, sehingga kalau ada kekurangan nilai ataupun ada masalah bisa diselesaikan tahun berikutnya," ujar Maqdir.Ia juga bilang, kalaupun terjadi masalah hukum dalam proyek Bioremediasi, haruslah diselesaikan di ranah perdata. Maqdir juga mempertanyakan wewenang BPKP yang mengeluarkan hasil audit dalam kasus ini. Menurutnya, BPKP tidak lagi punya kewenangan menghitung kerugian negara, tanpa seijin presiden.Dalam kasus ini, penyidik sudah memeriksa 80 orang saksi, empat orang di antaranya saksi ahli. Sebanyak tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka. Lima tersangka berasal dari Chevron yaitu Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, Alexiat Tirtawidjaja, dan Bachtiar Abdul Fatah. Sedangkan dua tersangka dari perusahaan swasta yaitu Ricksy Prematuri, selaku Direktur perusahaan kontraktor PT GPI dan Herlan, selaku Direktur PT Sumigita Jaya.Dugaan korupsi ini berawal perjanjian antara BP Migas dengan Chevron. Pada perjanjian tersebut juga ada pembagian yang mengatur mengenai biaya untuk melakukan bioremediation atau disebut cost recovery. Ternyata, kegiatan bioremediation tersebut tidak dilaksanakan dua perusahaan swasta yang ditunjuk Chevron yaitu PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Kerugian kasus bioremediasi Chevron capai Rp 100 M
JAKARTA. Kejaksaan Agung mengaku sudah memperoleh hasil penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi proyek Bioremediasi PT Chevron Pacifik Indonesia. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Setia Untung Arimuladi, berdasarkan laporan dari auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), nilai kerugian kasus Chevron mencapai US$ 9,9 juta, atau setara dengan Rp 100 miliar.Nilai kerugian negara ini ternyata lebih kecil dari dugaan semula. Diawal penyelidikan yang dilakukan, Kejaksaan menduga kerugian negara yang ditimbulkan kasus ini mencapai Rp 200 miliar atau US$ 23 juta."Setelah diketahuinya kerugian negara ini, kami harapkan kasus ini bisa segera di limpahkan ke penuntutan," kata Setia, Rabu (14/11). Setia menjelaskan, proses penyidikan kasus ini sudah tuntas. Saat ini penyidik sedang merampungkan berkas para tersangkanya.Kuasa hukum Chevron Maqdir Ismail mengaku kaget adanya kerugian negara dalam kasus ini. Menurutnya, tidak mungkin ada kerugian dalam kasus Bioremediasi yang dilakukan oleh Chevron bekerja sama dengan BP Migas tersebut.Adapun BP Migas dalam kontrak ini menurut Maqdir sebagai wakil dari pemerintah. Dengan kondisi BP Migas yang dinyatakan Ilegal oleh Mahkamah Konstitusi, selanjutnya peran dan tanggung jawabnya seharusnya diwakilkan kepada pemerintah."Kontrak kerja sama yang dibuat itu dalam durasi waktu yang panjang, sehingga kalau ada kekurangan nilai ataupun ada masalah bisa diselesaikan tahun berikutnya," ujar Maqdir.Ia juga bilang, kalaupun terjadi masalah hukum dalam proyek Bioremediasi, haruslah diselesaikan di ranah perdata. Maqdir juga mempertanyakan wewenang BPKP yang mengeluarkan hasil audit dalam kasus ini. Menurutnya, BPKP tidak lagi punya kewenangan menghitung kerugian negara, tanpa seijin presiden.Dalam kasus ini, penyidik sudah memeriksa 80 orang saksi, empat orang di antaranya saksi ahli. Sebanyak tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka. Lima tersangka berasal dari Chevron yaitu Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, Alexiat Tirtawidjaja, dan Bachtiar Abdul Fatah. Sedangkan dua tersangka dari perusahaan swasta yaitu Ricksy Prematuri, selaku Direktur perusahaan kontraktor PT GPI dan Herlan, selaku Direktur PT Sumigita Jaya.Dugaan korupsi ini berawal perjanjian antara BP Migas dengan Chevron. Pada perjanjian tersebut juga ada pembagian yang mengatur mengenai biaya untuk melakukan bioremediation atau disebut cost recovery. Ternyata, kegiatan bioremediation tersebut tidak dilaksanakan dua perusahaan swasta yang ditunjuk Chevron yaitu PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News