Kerugian kebakaran gambut di Riau capai Rp 15 T



SIAK. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan didesak untuk segera membuat payung hukum terkait perlindungan total terhadap lahan gambut di Riau. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya pencegahan kebakaran lahan gambut yang telah melanda Riau selama 17 tahun.

Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau Haris Gunawan mengatakan, pemerintah harus segera membuat aturan untuk menyetop kanalisasi liar lahan gambut yang ada di Riau. Akibat kanalisasi tersebut, kadar air di tanah gambut semakin berkurang sehingga tanah gambut mudah terbakar.

Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan di Riau tahun 2014 saja mencapai Rp 15 triliun, lebih dari 2.396 hektare cagar biosper dan 21.914 hektare lahan terbakar, serta lebih dari 58.000 warga terkena ISPA. Belum lagi biaya pengendalian kebakaran yang mencapai Rp 150 miliar.


"Saya mendesak Menteri untuk membuat aturan kanalisasi lahan gambut. Agar pemerintah memperbaiki, kanal ditertibkan, perusahaan-perusahaan diberi pengawasan yang ketat, kanal-kanal liar disetop," kata Haris di Kabupaten Siak, Riau, Senin (24/11) malam.

Kanaliasasi liar dinilai sebagai faktor utama penyebab kebakaran hutan karena kesengajaan tangan-tangan manusia. Menurut Haris, para pemilik modal yang menanami lahan gambut dengan sawit dan akasia, dapat dengan bebas membuat kanal dan mengalirkan airnya langsung ke sungai.

Dengan keadaan seperti itu, kadar air yang terdapat di dalam tanah gambut semakin berkurang dan tanah menjadi kering. Hal itulah yang menyebabkan tanah gambut mudah terbakar.

Terkait pengelolaan lahan gambut lanjut Haris, telah diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Gambut yang kemudian direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014. Sayangnya, aturan tersebut tak bertaji. Oleh sebab itu menurut Haris, pemerintah perlu membuat peraturan yang lebih terasa di masyarakat seperti Peraturan Desa (Perdes).

Sementara itu, sebagai upaya pencegahan tanah gambut kering tersebut, perlu diintensifkan upaya pembahasahan gambut (rewetting) dengan membuat bendungan-bendungan guna mencegah aliran air dari kanal ke sungai. Pendidikan ke masyarakat ihwal karakteristik lahan gambut juga diperlukan agar tidak terjebak kepentingan para pemilik modal.

"Gambut jangan diubah dari karakteristik alaminya. Tanah yang cocok ditanami sagu ya sagu, hutan ya hutan, budidaya ikan ya ikan," tambah Haris.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh salah satu aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Taufik. Bahkan menurut dia, jika pemerintah pusat dan daerah benar-benar mengikuti prosedur maka tidak akan diberikan izin kepada pihak-pihak yang pengelola lahan gambut.

"Sebanyak 24% gambut dalam (dengan kedalaman lebuh dari 10 meter) ada di Riau. Berdasarkan aturan, itu tidak boleh dimanfaatkan sebagai perkebunan atau apapun. Sementara gambut sisanya juga tidak bisa dimafaatkan karena belum sempurna pembusukannya," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa