Kerugian nasional dari buruknya sanitasi US$ 6,3 M



JAKARTA. Tidak hanya soal perizinan Indonesia yang kian buruk bagi pebisnis, sanitasi pun demikian. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama beberapa tahun terakhir belum diimbangi dengan peningkatan layanan sanitasi. Menurut laporan terbaru World Bank atawa Bank Dunia, berdasarkan kajian sanitasi di negara Indonesia, Vietnam, dan Filipina, kerugian ekonomi yang diderita oleh Indonesia terkait kesehatan dan lingkungan akibat layanan sanitasi yang kurang memadai mencapai sekitar 2,3% dari PDB tahunan atau sebesar US$ 6,3 miliar.

Nilai ini jauh lebih tinggi dibanding Vietnam dan Filipina. Vietnam hanya 1,3% dari PDB atau sebesar US$ 780 juta dan Filipina 1,5% dari PDB atau sebesar US$ 1,4 miliar. Mayoritas rumah tangga perkotaan di Indonesia telah menggunakan septic tanks sebagai tempat pembuangan. Namun sekitar 14% penduduk perkotaan masih melakukan praktik buang air besar sembarangan.

Permasalahan ini sudah tidak dijumpai lagi di Vietnam. Sementara itu, ada sekitar 135 instansi pengolahan lumpur tinja di Indonesia, yang berfungsi optimal hanyalah 10%. Sementara untuk pengolahan air limbahnya sendiri, saat ini hanya 13 kota di Indonesia yang sudah mempunyai pengolahan limbah baik termasuk Jakarta.


Satu kota yang sudah dibangun pengolahannya namun belum beroperasi sama sekali yaitu Manado. Tak heran apabila kemudian Indonesia menduduki peringkat ketiga terbawah di Asia Tenggara setelah Laos dan Timor Timur dalam hal layanan sanitasi. Kepala Praktisi Sektor Air Bank Dunia Sudipto Sarkar mengatakan, populasi masyarakat perkotaan Indonesia di tahun 2025 mendatang diproyeksi mencapai 175 juta.

Jadi, investasi yang dibutuhkan untuk pengadaan sanitasi mencapai US$ 42,7 miliar. "Nilai investasi yang tidak sedikit," ujar Sudipto, Rabu (30/10). Menilik Rancangan Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014, total dana yang dialokasikan untuk proyek sanitasi sebesar Rp 62,625 triliun, di mana di 2013 alokasi dana sebesar Rp 23,297 triliun. Dana ini dinilai kecil untuk meningkatkan pelayanan sanitasi di Indonesia. Karena itu, perlu alokasi dana yang lebih lagi untuk sanitasi.

Berbagai program sanitasi yang telah dijalankan pemerintah seperti Program Pengembangan Sanitasi Perkotaan (PPSP) perlu ditingkatkan. Program ini baik karena telah membantu ratusan pemerintah daerah dalam mempersiapkan strategi sanitasi kota. Total sekitar 1.700 sistem pengolahan air limbah terdesentralisasi telah dibangun dengan tambahan 4.000 sistem lagi yang direncanakan akan dibangun hingga tahun 2015. Peran Pemda minim

Selain soal dukungan pemerintah, sanitasi yang buruk di Indonesia ini juga disebabkan minimnya kesadaran masyarakat.

Spesialis Sanitasi Air Bank Dunia Irma Magdalena Setiono menjelaskan, anggapan masyarakat bahwa sanitasi adalah urusan masing-masing rumah tangga dan bukan urusan pemerintah perlu diubah.

Masyarakat perlu tahu bagaimana sanitasi yang baik. Dalam hal ini peran penting pemerintah daerah sangatlah perlu. "Pemda punya peraturan daerah tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB). IMB ada standar pembangunan septic tanks, namun belum ada aturan tentang septic tanks yang dibangun sesuai standar," jelas Irma. Minimnya peran pemerintah daerah ini pernah dikemukakan Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas Nugroho Tri Utomo.

Salah satu alasan yang menjadi penyebab rendahnya penyerapan sanitasi di daerah adalah karena anggaran infrastruktur dasar dalam APBD hanyalah 1%. Misalnya, kota Semarang Jawa Tengah. Hanya segelintir kota yang sudah tergolong tinggi tingkat infrastruktur dasarnya seperti Palembang, Banjarmasin, Surabaya, Malang, dan Bogor.

Hal ini, lanjut Nugroho, yang terus Bappenas dorong agar dapat ditingkatkan hingga 4%. Bukan apa-apa, apabila akses sanitasi ataupun air minum dapat diperoleh masyarakat maka tingkat produktivitas masyarakat dapat naik hingga 17% serta angka penyakit pun turun. Untuk RPJMN 2015-2019, pembahasan awal mengenai anggaran sanitasi mencapai Rp 350 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan