Kerusuhan di Inggris, Tersulut Unggahan Provokatif di Media Sosial



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Inggris dilanda serangkaian kerusuhan yang melibatkan bentrokan antara kelompok sayap kanan dan demonstran Muslim. Kejadian ini menggarisbawahi meningkatnya ketegangan komunitas di negara tersebut, terutama setelah pembunuhan di Southport yang memicu gelombang protes dan kekerasan. 

Kerusuhan mulai meluas di berbagai kota besar di Inggris, seperti Bolton, Middlesbrough, dan Rotherham. Situasi ini dipicu oleh insiden pembunuhan di Southport yang menyebar melalui desas-desus online, di mana pelaku diduga sebagai pencari suaka.

Protes yang semula damai berubah menjadi ajang kekerasan ketika kelompok-kelompok sayap kanan dan demonstran Muslim saling bentrok di jalanan.


Baca Juga: Puluhan Kendaraan Militer Israel Menyerbu Kota Ramallah, Tepi Barat

Peran Media Sosial dalam Penyebaran Informasi

Media sosial memainkan peran krusial dalam memperparah situasi ini. Informasi yang tidak terverifikasi tersebar dengan cepat, membangkitkan emosi masyarakat dan mendorong mereka untuk turun ke jalan.

Selain itu, tokoh-tokoh kontroversial seperti Tommy Robinson diduga turut memanaskan situasi melalui unggahan-unggahan yang provokatif, meskipun ia membantah terlibat secara langsung dalam kekerasan tersebut.

Dalam menanggapi situasi yang semakin tak terkendali, Perdana Menteri Inggris, Sir Keir Starmer, mengadakan pertemuan darurat Cobra bersama dengan para menteri kabinet dan petinggi kepolisian.

Dalam pidato daruratnya, Starmer menegaskan bahwa pihak berwenang akan bertindak tegas terhadap para perusuh. Ia berjanji bahwa siapa pun yang terlibat akan segera ditahan dan diadili dengan hukuman yang maksimal.

Kebijakan Penegakan Hukum yang Diperketat

Pemerintah Inggris berkomitmen untuk tidak menunjukkan toleransi terhadap siapa pun yang terlibat dalam kerusuhan. Mantan Menteri Imigrasi, Robert Jenrick, menekankan pentingnya untuk tidak bersikap selektif dalam menindak para pelaku, terlepas dari latar belakang mereka.

Ia juga menyerukan agar polisi dikerahkan dalam jumlah besar dan semua cuti petugas dibatalkan untuk menghadapi situasi ini.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi pemerintah dalam menindak para perusuh adalah keterbatasan kapasitas penjara di Inggris. Sistem penjara saat ini hampir mencapai kapasitas maksimal, dan rencana untuk membebaskan ribuan tahanan sebelum waktunya mulai September mendatang pun menimbulkan kontroversi.

Para kritikus berpendapat bahwa tanpa penambahan kapasitas penjara, upaya untuk menindak tegas para pelaku kerusuhan mungkin akan terhambat.

Kerusuhan yang melibatkan kelompok sayap kanan dan komunitas Muslim ini memperburuk hubungan antar kelompok di masyarakat. Beberapa masjid menjadi target serangan, dan di beberapa kota, bentrokan antara demonstran Muslim dan anti-imigrasi semakin memperdalam perpecahan sosial.

Ketegangan ini tidak hanya dirasakan di tingkat lokal, tetapi juga menyebar ke berbagai wilayah di Inggris, menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya kekerasan berbasis identitas.

Baca Juga: Pasca-kerusuhan di Sunderland, KBRI Imbau WNI di Inggris Jaga Diri

Persepsi Publik dan Reaksi Masyarakat

Masyarakat Inggris bereaksi dengan beragam terhadap peristiwa ini. Di satu sisi, ada kekhawatiran bahwa aksi kekerasan ini mencerminkan meningkatnya intoleransi dan kebencian di tengah masyarakat.

Di sisi lain, beberapa kelompok merasa bahwa aksi protes tersebut merupakan ungkapan dari frustrasi yang telah lama terpendam terkait kebijakan imigrasi dan pengelolaan komunitas oleh pemerintah.

Salah satu faktor utama yang memicu kerusuhan ini adalah ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap kebijakan imigrasi Inggris. Banyak yang merasa bahwa pemerintah tidak cukup tegas dalam menangani isu-isu terkait pencari suaka dan imigran, yang dianggap sebagai ancaman terhadap identitas nasional dan stabilitas sosial.

Ketidakpuasan ini kemudian dieksploitasi oleh kelompok-kelompok sayap kanan untuk menyulut kebencian dan kekerasan.

Untuk mencegah kekerasan lebih lanjut, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis yang tidak hanya bersifat reaktif tetapi juga preventif. Penegakan hukum yang tegas memang diperlukan, namun pemerintah juga harus lebih proaktif dalam mengatasi ketidakpuasan masyarakat melalui dialog yang konstruktif dan kebijakan yang inklusif.

Mengatasi akar masalah seperti diskriminasi dan marginalisasi komunitas tertentu menjadi kunci untuk meredam ketegangan sosial.

Editor: Handoyo .