Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pertama kali meluncurkan Kartu Jakarta Sehat (KJS) pada 10 November 2012. KJS merupakan program unggulan gubernur terpilih yang dijanjikan saat kampanye. Pemprov DKI Jakarta pun menggelontorkan bujet Rp 1,2 triliun dari APBD 2013. Lewat KJS, 4,7 juta warga miskin di Ibukota berhak menikmati layanan gratis di Puskesmas dan rujukan rawat inap kelas III pada rumah sakit yang menjadi mitra program KJS. Memang, efek kebijakan KJS ini sangat luar biasanya. Warga berbondong-bondong berobat ke Puskesmas dan rumah sakit. Maklum, selama ini biaya berobat mahal dan sulit diakses masyarakat pinggiran. Jumlah pasien pun melonjak hingga 70%. Tak pelak antrean dan hilir–mudik pasien layaknya keramaian pasar. Kamar rawat inap penuh sesak, bahkan sebagian tak mampu menampung. Lorong pun disulap jadi ruang rawat dadakan. Petugas medis dan dokter pun dibuat kewalahan menangani pasien yang datang dari pagi, siang, bahkan hingga malam.
Nah, akumulasi membanjirnya pasien ini berujung mundurnya 16 rumah sakit swasta dari program KJS.Apakah KJS gagal? KJS merupakan pilot project untuk pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) pada 1 Januari 2014. Lalu apa yang membuat 16 rumah sakit itu cabut dari kepesertaan KJS? Abdul Barry Radjak, Wakil Direktur Utama Rumah Sakit MH Thamrin satu dari 16 rumah sakit yang mundur bilang, yang menjadi akar persoalannya adalah tarif layanan kesehatan. "Tidak fair jika disamaratakan tarif antara rumah sakit pemerintah dengan swasta. Apalagi dalam hal investasi penghitungan tarif harus ada dasarnya," terangnya kepada KONTAN, Selasa (21/5). Menurut Barry, tarif layanan ini bukan semata pengelola rumah sakit mencari untung, tapi mereka dituntut untuk memenuhi pengembalian biaya investasi dan peremajaan alat-alat medis, yang notabene murni tanpa subsidi negara. Atas dasar itu, pemerintah perlu duduk bareng dengan pelaku usaha kesehatan, agar satu kebijakan. Selain itu, harus ada perbedaan tarif bagi rumahsakit swasta. Pengelola rumah sakit swasta menilai klaim yang dibayarkan PT Askes terlalu rendah. "Perhitungan kami, hanya 30%-50% yang dibayar dari total klaim ," ungkap Barry. Padahal, ketika masih langsung dipegang Dinas Kesehatan DKI Jakarta, klaim nyaris semuanya dilunasi. Kondisi ini, otomatis membuat beban RS makin berat lantaran harus menanggung sisanya sebesar 50%-70%. Program KJS membuat rumah sakit swasta tekor. "PT Askes yang pakai INA-CBG's terlalu rendah ketika membayar klaim," tandas Barry.Dus, usut punya usut, ternyata Indonesia-Case Base Groups (INA-CBG's) inilah yang dituding sebagai biang kisruh KJS. Padahal sistem pembayaran ini yang akan dijalankan pada program BPJS kelak. KJS menjadi tempat uji coba ketangguhan sistem yang diberlakukan lewat Keputusan Menteri Kesehatan No. 440/2012. Beleid yang terbit 27 Desember 2012 ini memerintahkan seluruh rumah sakit pelat merah dan swasta wajib menerapkan INA-CBG's mulai 1 Januari 2013.