Kesaksian Mengguncang Mantan Polisi Filipina Soal Kebijakan Perang Narkoba Duterte



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kesaksian Royina Garma, seorang mantan kolonel polisi yang memiliki hubungan dekat dengan mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, mengungkapkan bukti mengejutkan mengenai tawaran imbalan kepada polisi untuk melakukan pembunuhan sebagai bagian dari "perang melawan narkoba".

Kesaksian ini memicu seruan agar bukti tersebut diserahkan kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk investigasi lebih lanjut.

Pengakuan Menyakitkan Tentang Model Davao

Dalam kesaksiannya di depan komite parlemen, Garma menceritakan bagaimana Duterte menghubunginya pada Mei 2016 untuk meminta bantuannya menemukan seorang anggota Kepolisian Nasional Filipina (PNP) yang mampu melaksanakan "perang melawan narkoba" secara nasional.


Ia menjelaskan bahwa model ini mirip dengan pendekatan yang diterapkan di Davao, tempat di mana Duterte pernah menjabat sebagai walikota. Garma mengklaim bahwa model tersebut melibatkan sistem pembayaran dan imbalan bagi para polisi yang berhasil melakukan pembunuhan.

Baca Juga: Presiden Filipina: Relasi AS-Filipina Membantu Respons 'Lincah' Terhadap China

Garma menjelaskan bahwa berdasarkan model ini, polisi dapat menerima imbalan antara P20.000 (US$346) hingga P1 juta (US$17.340) per pembunuhan, tergantung pada targetnya.

Ia menegaskan bahwa imbalan hanya diberikan untuk pembunuhan, bukan untuk penangkapan. Pengakuan ini menambah keprihatinan mengenai praktik-praktik ekstra yudisial yang telah terjadi selama periode pemerintahan Duterte.

Penyangkalan Duterte dan Respon Pemerintah

Duterte sendiri telah membantah memberikan otorisasi untuk pembunuhan di luar hukum. Namun, ia secara terbuka mengancam para pengedar narkoba dengan kematian dan mendorong masyarakat untuk membunuh pecandu dan pengedar narkoba. Pada tahun 2016, Duterte bahkan mengklaim bahwa ia pernah membunuh tersangka ketika menjabat sebagai walikota.

Sementara itu, presiden saat ini, Ferdinand Marcos Jr., telah menolak untuk bekerjasama dengan ICC, menyatakan bahwa kasus-kasus tersebut harus ditangani oleh pengadilan Filipina. Marcos Jr. menganggap ICC sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara dan berpendapat bahwa penyelidikan seharusnya dilakukan secara domestik.

Seruan untuk Penyerahan Bukti ke ICC

Kristina Conti, dari National Union of People’s Lawyers yang mewakili beberapa keluarga korban perang narkoba, menyerukan pemerintah untuk menyerahkan bukti yang diperoleh Garma kepada ICC dan memberikan akses kepada penyelidik. Ia menegaskan bahwa hal ini dapat mempercepat investigasi dan membantu menghindari lapisan proses hukum yang berbelit-belit.

Hubungan antara keluarga Marcos dan Duterte telah mengalami ketegangan dalam beberapa waktu terakhir, dan para analis berpendapat bahwa Marcos bisa saja mempertimbangkan untuk mengekspos Duterte jika ia merasa langkah tersebut akan menguntungkan secara politik.

Dalam kesaksian Garma, ia menyebutkan beberapa individu, termasuk Bong Go, ajudan utama Duterte yang sekarang menjabat sebagai senator, yang diduga terlibat dalam pengelolaan dana terkait pembunuhan.

Baca Juga: Filipina: Pertemuan dengan AS & Jepang Bakal Cakup Kerja Sama Laut China Selatan

Keraguan Terhadap Proses Investigasi Domestik

Kelompok hak asasi manusia dan pengacara yang mewakili keluarga korban menyatakan bahwa lembaga domestik tidak dapat diandalkan untuk memberikan keadilan yang sebenarnya.

Conti mengungkapkan kekhawatiran bahwa penyelidikan domestik mungkin tidak objektif, mengingat bahwa orang-orang yang terlibat dalam penyelidikan atau penuntutan mungkin juga terlibat dalam pelanggaran tersebut.

Carlos Conde, peneliti senior di divisi Asia Human Rights Watch yang mengawasi Filipina, menekankan bahwa tidak mungkin mengharapkan lembaga penegak hukum untuk melakukan penyelidikan yang jujur dan menyeluruh mengenai pembunuhan yang terjadi.

Editor: Handoyo .