JAKARTA. Kemacetan di Jakarta menjadi salah satu hal paling utama yang disoroti para diplomat yang tinggal di kota ini. Namun, di balik kemacetan parah yang juga sangat dikeluhkan warga setempat, warga asing justru melihat potensi yang bisa diberdayakan demi kemajuan kota ini. Nico Schermers, Kepala Bagian Politik Kedutaan Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia, sudah satu setengah tahun menjadi ”warga” Jakarta. Setiap hari, mau tidak mau, dia harus melewati salah satu pusat macet di Jakarta saat pergi pulang dari rumahnya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, ke kantornya di Jalan HR Rasuna Said di bilangan Kuningan. Schermers bahkan menyebut perempatan Jalan HR Rasuna Said dengan ruas Jalan Jenderal Gatot Subroto dan Jalan Tol Dalam Kota itu sebagai ”infark”, alias tempat penyumbatan saluran darah. ”(Dan) saya harus melewati tempat itu dua kali sehari,” ujarnya.
Padahal, kata Schermers, solusi masalah itu sederhana. Cukup bangun terowongan dari utara ke selatan di bawah perempatan tersebut. Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik menyentil pengalamannya terjebak macet yang bisa memakan waktu tak sedikit. ”Lalu lintas Jakarta yang sudah terkenal itu belum mampu mengalahkan saya, selama saya bepergian membawa sesuatu untuk dibaca dan ponsel dengan baterai terisi penuh,” ujar Malik melalui surat elektronik (surel), Jumat (2/1). Potensi Jakarta Saeed Javed, mantan atase pers Kedubes Pakistan di Jakarta selama hampir empat tahun dari 2008-2012, memilih melihat sisi positif Ibu Kota ini. ”Diplomat dari negara-negara Muslim merasa berada di rumah saat di Jakarta atau di tempat lain di Indonesia. Namun, saya beri tahu Anda, bahkan diplomat yang beragama lain pun menyukai berada di lingkungan yang bersahabat ini. Semua berkat budaya tolong menolong dan toleransi yang berlaku secara umum di sini,” tulis pria yang kini menjadi Juru Bicara Kementerian Keuangan Pakistan itu dalam surelnya. Di balik semua kekurangan Jakarta, Javed menilai hidup di Jakarta jauh lebih ekonomis dan nyaman dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ini. ”Dan itu menutup semua kelemahan lain,” ujar pria ramah ini. Schermers pun dulu pernah mengira penduduk Jakarta kurang ramah dan kurang bahagia dibandingkan dengan warga kota dunia, seperti di Paris, Kairo, Canberra, dan Den Haag. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Atase pers Kedubes Iran di Jakarta, Ali Pahlevani Rad, yang sudah tinggal di Jakarta sejak 2000 dan sudah fasih berbahasa Indonesia, mengaku terkejut melihat sikap warga Jakarta saat banjir besar melanda beberapa kali. ”Gambaran saya, jika sebuah ibu kota dilanda banjir yang begitu hebat, kekacauan yang luar biasa akan terjadi. Nilai saham perusahaan-perusahaan besar akan jatuh dan perkembangan ekonomi negara tersebut akan terhambat,” kata Ali. Namun, Ali menyaksikan sendiri ketika banjir besar melanda, bahkan sempat menggenangi kawasan pusat kota Jakarta, warga Ibu Kota tetap beraktivitas dengan semangat. ”Saya menyaksikan orang-orang tetap bekerja walau harus bercelana pendek dan sandal untuk mencapai kantor. Anak-anak pun tetap sekolah,” ujarnya. Ali pun memetik pelajaran berharga melihat sikap warga Jakarta tersebut. ”Kondisi kehidupan tidak menentukan hari-hari kita, tetapi semangat dan dimensi penglihatan kita terhadap kejadian kehidupanlah yang menjadi penentu hari-hari kita,” katanya.
Motoyasu Tanaka, mantan Sekretaris Satu Bagian Politik Kedubes Jepang di Jakarta, yang kini telah pindah tugas ke Bern, Swiss, menyoroti masih lemahnya peran pemerintah dalam menyediakan berbagai infrastruktur dan pelayanan publik yang memadai. Akan tetapi, Tanaka meyakini Jakarta memiliki keunggulan untuk menjadi metropolitan berstandar internasional. ”(Keunggulan) itu adalah keramahan dan keterbukaan hati warga Jakarta sendiri,” ujar Tanaka. Sejarah mencatat, manusia menjadi modal dan penggerak utama kemajuan peradaban. Seperti kesaksian para warga mancanegara tersebut, manusia Jakarta memiliki potensi besar untuk memimpin gerak kemajuan tersebut. Saatnya untuk percaya diri dan bergerak! (Dahono Fitrianto) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa