Kesepakatan jumbo Amerika di China



KONTAN.CO.ID - BEIJING. Lawatan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump ke Asia berbuah manis. Di China, Trump menyepakati transaksi bisnis senilai total US$ 250 miliar.

Sejumlah proyek besar dari kesepakatan kedua pemimpin negara itu diantaranya rencana investasi senilai US$ 83,7 miliar oleh China Energy Investment Corp bagi proyek pengembangan shale gas dan kimia di West Virginia, AS. West Virginia sendiri merupakan negara penghasil energi utama di AS, dan juga kantong suara Trump dalam pemilihan presiden tahun 2016 silam.

"Kerjasama bidang energi serta kolaborasi dengan nilai sebesar ini, belum pernah terjadi sebelumnya antar kedua negara," ujar Menteri Perdagangan H. Wood Thrasher seperti diwartakan Reuters, Kamis (9/11).


Kesepakatan tersebut juga merupakan investasi pertama China Energy yang terbesar, pasca didirikan dari hasil merger antara produsen batubara terbesar China, yakni China Shenhua Group dengan China Guodian Corp.

Perusahaan AS lain yang mendapat berkah dari lawatan Trump kali ini yakni Qualcomm. Produsen cip untuk ponsel pintar tersebut menandatangani perjanjian tidak mengikat senilai US$ 12 miliar dengan Xiaomi, Oppo dan Vivo, tiga perusahaan pembuat handset terbesar China. Asal tahu saja, hingga kini setengah dari pendapatan global Qualcomm berasal dari Negeri Tembok Besar.

Ada juga produsen pesawat terbang, Boeing, yang menandatangani kesepakatan penjualan 300 jet Boeing senilai US$ 37 miliar dengan China Aviation Suppliers Holdings Co.

Perusahaan lain, General Electric Co (GE) menandatangani tiga kesepakatan di bidang penerbangan dan mesin dengan mitra di China senilai US$ 3,5 miliar. Salah satunya proyek perbaikan mesin pesawat milik maskapai Juneyao Airlines Co Ltd senilai US$ 1,4 miliar.

Diskriminasi perdagangan

William Zarit, Ketua Kamar Dagang AS di China mengatakan, kesepakatan ratusan miliar dollar AS tersebut memperlihatkan hubungan ekonomi bilateral yang kuat dan dinamis diantara kedua negara. "Namun kami masih perlu fokus pada penguatan operasional di lapangan, karena perusahaan AS terus dirugikan saat berbisnis di China," tutur Zarit, seperti dikutip Reuters.

Zarit mencontohkan tindakan pemblokiran atas sebagian besar produk dari perusahaan teknologi AS seperti Facebook Inc dan Google di China. Tidak hanya itu, perusahaan otomotif semisal Ford Motor Co dan General Motors harus mencari mitra dalam negeri di China untuk kemudian membuat usaha patungan (joint venture) bila ingin masuk pasar China. Sedangkan dari bisnis hiburan, pemerintah AS juga mengeluhkan sistem kuota yang ketat atas film Hollywood di China.

Secara garis besar, analis menilai, Trump masih belum dapat mewujudkan reformasi struktural atas hubungan bilateral antara Amerika dan China.

Editor: Wahyu T.Rahmawati