Ketegangan Geopolitik Berportensi Membuat Tren Kenaikan Harga Minyak Dunia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak naik pada awal perdagangan, Rabu (31/1), karena masih adanya ketegangan geopolitik dan data ekonomi yang positif. 

Pada Rabu (31/1) harga minyak mentah berjangka jenis West Texas Intermediate (WTI) menguat 0,03% di posisi US$ 77,84 per barel, begitu juga dengan minyak mentah Brent dibuka lebih tinggi atau naik 0,22% di posisi US$ 82,62.

Namun demikian, pada Selasa (30/1) minyak Brent yang menjadi patokan harga minyak dunia turun US$1,15 atau 1,38% menjadi US$ 82,40 per barel. Sementara harga minyak WTI AS juga melemah US$ 1,23 atau 1,58% menjadi US$ 76,78 per barel, dampak adanya krisis properti China dan eskalasi konflik Timur Tengah. 


Baca Juga: Harga Minyak Ditutup Menguat, Tersulut Ketegangan Geopolitik dan Data Ekonomi

Pengamat komoditas dan mata uang, Lukman Leong memperkirakan harga minyak masih akan range bound. Hal itu didukung oleh kebijakan produksi OPEC+, namun tertekan oleh prospek ekonomi yang lemah terutama dari China dan Eropa.

"Walau akhir-akhir ini harga minyak dunia juga didukung oleh konflik di TimTeng dan revisi naiknya pertumbuhan ekonomi global oleh IMF,"  ujar Lukman kepada Kontan.co.id, Rabu (31/1).

Menurut dia, sikap Hawkish dari pejabat the Fed belakang ini seiring dengan data ekonomi AS yang lebih kuat menurunkan harapan investor pada the Fed untuk menurunkan suku bunga lebih awal. Oleh sebab itu, Lukman melihat bahwa harga minyak WTI masih akan berkisar US$70 - US$ 85 per barel.

Di sisi lain, dia mengatakan bahwa keputusan FOMC berpengaruh terhadap harga minyak saat ini, namun tidak besar, karena biasanya tidak akan terlalu melenceng dari perkiraan investor, "Kecuali apabila ada perubahan besar pada prospek suku bunga the Fed," ujarnya. 

Selaras dengan hal ini, Pengamat Komoditas dan Founder Traderindo.com, Wahyu Tribowo Laksono mengatakan, sentimen yang membuat harga minyak masih naik yaitu, faktor resesi Amerika Serikat (AS) dan perlambatan ekonomi China, ditambah kenaikan suku bunga Fed yang juga memicu penguatan USD.

"Harga minyak naik sekitar 2% pada Senin kemarin juga karena konflik di Timur Tengah, khususnya serangan drone oleh Houthi yang ditugaskan Iran berlanjut pada kapal komersial di Laut Merah," ujar dia kepada Kontan.co.id, Rabu (31/1)

Dia mengatakan bahwa Perang Rusia-Ukraina juga turut menyebabkan volatilitas di pasar minyak karena perusahaan energi Rusia Novatek melaporkan kebakaran di salah satu terminal ekspor bahan bakar, sehingga memaksa perusahaan untuk menangguhkan sebagian operasi. 

"Laporan itu menunjukkan bahwa kebakaran tersebut disebabkan oleh serangan Ukraina," kata dia. 

Namun demikian, menurutnya pada tahun 2024 ini, ada harapan komoditas didukung secara fundamental oleh moneter global. Sehingga harga komoditas khususnya energi masih cenderung Lower Consolidation.

Wahyu mengatakan, berdasarkan data dari International Energy Agency (IEA), permintaan minyak global menigkat di tahun ini. Di mana, konsumsi minyak dunia akan meningkat sebesar 1,1 mbpd pada 2024 dan produsen non-OPEC juga akan menyumbang 1,2 mbpd untuk pasokan global. Sedangkan pandangan OPEC 2024 sedikit berbeda dengan IEA karena melihat peningkatan 2,25 mbpd. 

"Ancaman resesi, perlambatan ekonomi utama dunia yang semakin dalam, permintaan  yang melemah dari China, dan produksi yang masih berlebih sepertinya masih ancaman bagi minyak di 2024," kata dia. 

Baca Juga: Harga Minyak Berpotensi Lanjutkan Tren Kenaikan, Intip Sentimen Pendukungnya

Kendati demikian, dia memperkirakan bahwa pasokan minyak masih cukup besar pada 2024 karena perlambatan aktivitas ekonomi dikombinasikan dengan peningkatan produksi dari AS yang baru-baru ini menyentuh tertinggi di 13,24 mbpd. 

Selain itu, kata Wahyu, Brazil, Guyana, Norwegia dan Kanada akan menjaga pasar dengan supply minyak yang cukup. Sehingga hal ini menjadi tantangan besar apakah harga minyak akan menyentuh hingg ke harga US$ 100 per barel pada 2024.

Wahyu mengatakan, kesimpulannya yaitu walaupun secara geopolitik dan potensi Fed yang melunak secara moneter, juga faktor OPEC khususnya Saudi masih berusaha menekan supply, namun minyak masih belum meyakinkan untuk rebound karena masih ada kecemasan ekonomi global.

Dia memprediksikan harga minya pada Kuartal I-2024 ini sebesar US$ 70 - US$ 85 per barel, sedangkan untuk harga hingga akhir 2024 ini kisaran $50 - $100 per barel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .