Ketegangan Timur Tengah jadi penentu arah pergerakan harga minyak



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Cenderung tertahan dalam beberapa hari terakhir, harga minyak dunia masih punya peluang untuk merangkak naik ke level US$ 60 per barel. Ini mengacu pada besaran ketegangan politik yang terjadi antara Iran, Inggris dan memungkinkan untuk menjalar hingga ke Amerika Serikat (AS). 

Berdasarkan data Bloomberg, Rabu (24/7) pukul 18.14 WIB, harga minyak west texas intermediate (WTI) untuk pengiriman September 2019 di New York Mercantile Exchange naik 0,42% ke US$ 57,01 per barel. Asal tahu saja, sepanjang Juli 2019 harga minyak tertinggi yang pernah dicapai yakni US$ 60,52 per barel, sedangkan level terendah yakni US$ 55,42 per barel. 

Analis Asia Trade Point Futures Deddy Yusuf Siregar mengatakan, kenaikan harga minyak saat ini lebih dikarenakan meningkatnya ketegangan di Timur Tengah.  Sebagaimana diketahui, saat ini tengah terjadi konflik antara Inggris dengan Iran, di mana negara penghasil minyak tersebut sempat menyandera kapal tanker milik Inggris. 


"Kalau saya lihat pasar minyak saat ini hanya dipengaruhi faktor konflik dua negara tersebut," kata Deddy kepada Kontan.co.id, Rabu (24/7). 

Sementara itu, program OPEC untuk mempertahankan pemangkasan produksi minyak belum berdampak banyak bagi pergerakan harga minyak. Untuk itu, ke depan Deddy memperkirakan pergerakan harga minyak akan ada di rentang US$ 50 per barel hingga US$ 66 per barel hingga akhir tahun. 

Alasannya, pasar saat ini masih memperhatikan sikap dan langkah Presiden AS Donald Trump yang tidak cukup nyaman ketika harga minyak menyentuh level tinggi. Sehingga rentang harga minyak diperkirakan tidak akan bergerak banyak.

"Kecuali, jika ada perang terbuka antara Iran dan Inggris, yang ujungnya bakal melibatkan AS. Bisa dipastikan harga minyak akan melonjak lantaran arus pasokan bisa terganggu," ungkapnya. 

Ditambah lagi, pasar memperkirakan persediaan minyak mingguan AS bakal berkurang sekitar 4 juta barel. Artinya, saat angka tersebut sesuai ekspektasi pasar, bukan tidak mungkin harga minyak bisa terdongkrak naik di tengah meningkatnya ketegangan di Timur Tengah. 

Di sisi lain, pernyataan Dana Moneter Internasional (IMF) yang memangkas angka pertumbuhan ekonomi global ke level 3,2% tahun ini, sekaligus menunjukkan bahwa kondisi ekonomi dunia belum menunjang kenaikan harga minyak ke level yang lebih tinggi. Kalaupun harga minyak bisa tembus ke level US$ 60 per barel, Deddy menilai kondisi tersebut sebatas keberuntungan belaka. 

"Karena, mau tidak mau kita harus melihat kondisi pasar fundamental untuk minyak. Dimana sentimen ketegangan Timur Tengah masih akan mendominasi," jelasnya. 

Secara teknikal, Deddy menilai rata-rata indikator menunjukkan tren bearish. Di antaranya, harga saat ini masih berada di bawah moving average (MA) 50, MA100 dan MA200 yang mengindikasikan pelemahan. Begitu juga dengan indikator RSI yang berada di area 48 yang mengindikasikan penurunan.

Untuk indikator stochastic berada di area 54 yang berpotensi menguat namun terbatas. Sementara indikator MACD masih berada di area negatif. Melihat kondisi tersebut, untuk jangka pendek Deddy merekomendasikan investor untuk buy. 

Adapun proyeksi pergerakan harga minyak untuk perdagangan Kamis (25/7), bakal bergerak di kisaran resistance US$ 57,80; US$ 58,40; US$ 59,50 per barel. Sedangkan untuk kisaran support berada di level US$ 56,20; US$ 55,10; US$ 54,40 per barel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi