KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerapkan ketentuan baru di industri fintech peer to peer (P2P) lending, termasuk yang berkaitan dengan penerima dana (borrower). Dalam ketentuan baru, OJK mengatur batas usia minimum borrower adalah 18 tahun atau telah menikah, serta penghasilan minimum borrower sebesar Rp 3 juta per bulan. Kewajiban pemenuhan atas persyaratan/kriteria borrower dimaksud efektif berlaku terhadap akuisisi borrower baru, dan/atau perpanjangan, paling lambat 1 Januari 2027. Mengenai hal itu, pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyampaikan secara prinsip adanya aturan pengetatan dari sisi borrower bisa membuat kredit macet di pinjaman daring makin berkurang, termasuk yang berkaitan dengan pendapatan minimum borrower.
"Hal itu bisa menjadi filter awal bagi platform fintech lending untuk mengeliminasi borrower dengan gagal bayar yang tinggi," ucapnya kepada Kontan, Rabu (8/1). Baca Juga: OJK Beri Sanksi kepada 14 Multifinance dan 27 Fintech Lending pada Desember 2024 Selain itu, Nailul berpendapat besaran bunga yang turun ketika meminjam lebih dari 6 bulan untuk konsumtif juga bisa membagi risiko gagal borrower menjadi lebih panjang. Artinya, borrower masih bisa berpeluang besar mengembalikan pinjaman apabila mengambil tenor lebih dari 6 bulan karena bunganya yang lebih kecil ketimbang tenor kurang dari 6 bulan. "Mereka bisa membayar cicilan ketika bunganya lebih rendah meskipun jangka waktunya lebih panjang," ujarnya. Nailul memperkirakan TWP90 fintech lending bisa membaik pada tahun ini dengan berbagai aturan yang ada. Kecuali, memang ada fenomena lainnya yang menyebabkan kasus gagal bayar meningkat. "Pada prinsipnya, ketika penyaluran meningkat tajam, potensi gagal bayar juga akan mengikuti," kata Nailul. Baca Juga: Per Desember, OJK Catat 11 Fintech P2P Lending Belum Penuhi Ekuitas Minimum