JAKARTA. Rapat tim angket DPRD DKI Jakarta pada Rabu (25/3) mendengarkan keterangan dari para saksi ahli. Salah satu aksi ahli yang dihadirkan adalah pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin. Dalam rapat tersebut, para anggota DPRD DKI melontarkan berbagai pertanyaan kepada Irman seputar kekisruhan antara lembaga legislatif dan eksekutif yang terjadi saat ini, baik terkait Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2015 mau pun etika Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Terkait dengan RAPBD 2015, Irman menyatakan, sebuah pemerintahan tidak boleh tidak melibatkan lembaga wakil rakyat dalam pembahasan anggaran rakyat. Jika hal itu terjadi, kata dia, maka pemerintah sedang menjalankan sistem kekuasaan absolut yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. "Tidak boleh kekuasaan terpusat di satu orang, karena itu kekuasaan absolut. Karena pemilik kekuasaan yang sebenarnya adalah rakyat. Dan setiap lima tahun rakyat telah memilih dan memberi mandat kepada wakil-wakilnya. Itulah prinsip demokrasi," kata Irman.
Selain itu, Irman juga mengatakan, suatu pemerintahan tidak boleh mengelola sendiri anggarannya tanpa melibatkan lembaga legislatif meski dengan alasan memiliki niat baik. Menurut Irman, pengakuan niat baik tidak bisa dijadikan tolak ukur dalam pengesahan anggaran karena tak ada aturannya dalam undang-undang. Ia menekankan, undang-undang dengan tegas menyatakan pembahasan dan pengesahan anggaran harus melibatkan lembaga legislatif. "Tidak boleh anggaran ini dikelola hanya dengan niat baik. Harus ada persetujuan rakyat yang diwakil legislatif. Tidak boleh hanya berdasarkan 'Saya punya niat baik'. Itu lain persoalan," ujar dia. Irman mengatakan, keharusan untuk melibatkan lembaga legislatif dalam pembahasan anggaran adalah semata-mata untuk menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. "Kalau hanya niat baik, raja-raja dulu yang kekuasannya absolut niatannya baik semua. Tapi kan yang seperti itu ditentang oleh demokrasi," ujar dia. Sementara itu, dari aspek etika, Irman mengatakan bahwa etika merupakan aspek terpenting yang harus dijaga seorang pemimpin. Hal itu sudah diatur dalam TAP MPR Nomor 6 tahun 2001 tentang kehidupan berbangsa dan bernegara, dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. "Tidak dibenarkan atas dasar apa pun, seorang penyelenggara negara boleh melanggar etika. Misalnya melanggar etika dengan alasan punya niat baik. Seorang penyelenggara negara dalam kondisi apa pun harus tunduk pada sistem etika yang ada," kata dia. Pentingnya aspek etika seorang pemimpin, menurut Irman, bisa membuat seorang pemimpin yang melanggar etika dimakzulkan. Ia mencontohkan kasus yang dialami oleh Aceng Fikri, yang dimakzulkan dari jabatannya sebagai Bupati Garut pada 2012 menikah siri. "Di Garut, Bupati diputuskan melanggar etika perundang-undangan dan harus turun dari jabatannya hanya karena tidak mendaftarkan pernikahannya. Dia juga tidak mendapat izin dari istri pertama. Itu putusan dari Mahkamah Agung," ujar Irman. Pemakzulan Dalam rapat tersebut, salah seorang anggota panitia hak angket dari Fraksi PDI Perjuangan, Syahrial, sempat menanyakan apa sanksi yang bisa diberikan terhadap Ahok jika ia memang terbukti melanggar peraturan perundang-undangan. Menanggapi pertanyaan tersebut, Irman mengatakan, bila memang terbukti melanggar undang-undang, maka Ahok bisa diberhentikan dari jabatannya setelah ada putusan dari Mahkamah Agung. "Kalau berdasarkan proses konstitusi, sanksi pertama yang bisa diberikan adalah
remove from the office. Dia bisa berhenti dari jabatannya. Kalau berdasarkan perundang-undangan yang baru, begitu Mahkamah Agung memutuskan, bisa langsung r
emove from the office," kata Irman. Mendengar pernyataan Irman, para anggota DPRD DKI Jakarta yang berada di ruang rapat langsung bertepuk tangan. Putusan angket tak boleh melalui voting Pada rapat tersebut, Irman tak henti-hentinya menyatakan bahwa hak angket merupakan ranah hukum, bukan politik. Jadi, keputusannya harus berdasarkan fakta-fakta yang didapat berdasarkan proses penyelidikan yang telah dilakukan dan pengambilan keputusannya tidak boleh dilakukan dengan cara voting. Jika melalui voting, Irman menganggap digulirkannya hak angket tidak lebih dari sekadar ajang kompromi politik demi mengeruk keuntungan pribadi.
"Hak angket bukan ajang kompromi politik karena yang dicari adalah fakta. Tidak ada alasan mengubah fakta dengan alasan politik yang dinamis. Padahal sudah transaksi di belakang," ujar dia. Oleh karena itu, kata Irman, jika panitia hak angket memang menemukan fakta bahwa Ahok telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan, maka DPRD harus mengirimkan hasil temuan itu ke Mahkamah Agung untuk diproses lebih lanjut. "Kalau sudah jelas gambarnya bebek, jangan diberi ruang untuk mengatakan itu kambing. Kemudian divoting. Padahal sudah jelas-jelas itu bebek," kata Irman. (Alsadad Rudi) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie